blank

hhh"/> hhh"/>
rakiz_blank. Diberdayakan oleh Blogger.

diantaramoe

My Slideshow: Diantaramoe’s trip to Bali, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bali slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

claver's

Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com
Read more: http://epg-studio.blogspot.com/2010/03/mengganti-penampilan-kursor.html#ixzz1zkrh3e3n
RSS

Selasa, 19 November 2013

♣♣•• ENGKAU DURI DALAM SEPI

♣♣•• ENGKAU DURI DALAM SEPI
KU♣♣••
Semilir angin membuatku slalu
hanyut dlm lamunan.....
Silih berganti sunyi dan ramai seiring
bergulirnya waktu....
Diam ku bagaikan arca dengan
dipenuhi seribu bisu di sela sang
waktu
yang kerap mempertandingkan antara
sepi dan ramai...
Andai saja......
Q terlahir dari tetesan air mata mu...
Pasti q kan slalu ada di pipimu
hingga matipun akan berada dlm
pangkuan mu...
Dan seandainya...
Engkau lahir dari tetesan air mata
ku...
Ku kan bendung air mataku dengan
harapan tak akan ada tetesan air
mata yang akan jatuh dan hilang dari
hidupku...
Andai saja engkau tahu...
Jauh di dlm sudut hatiku masih ada
sebagian naluriku yang sebagian
habis
termakan masa-masa yang berbalut
keindahanmu yang slalu berkata
ENGKAU DURI DI DALAM SEPIKU
Hingga sunyi pun slalu hinggapi
malam-malam ku dengan menyerukan
sang pencinta dalam kesunyian yang
berkepanjangan...
Kalimah demi kalimah tlah ku
lantunkan dan ku siratkan ke dlm
puisi
kesedihan...
Meskipun tak seindah karya puisi
ternama yng slalu kau puja slama
ini...
Semoga dgn aksara ini engkau akan
tahu pahit dan getirnya rasa ini...
Sunyi dan sepinya hati ini...
Saat ku tak berada di dekat mu lagi

Anak jalanan

ANAK JALANAN
Mereka adalah himpunan berhingga
Dari jenis anak-anak yang tak
berpendidikan
Bukan karena tak ada kemauan,
tetapi karena keadaan terlanjur
mensubtitusi
Mereka adalah sin 90, yaitu satu dari
populasi yang tak terhiraukan
Andai ada yang mengerti…..Andai
ada yang tau…..
Mereka ingin menjadi persamaan
deferensial yang memiliki solusi
Mereka ingin meraih cita yang sama
dari pertidaksamaan yang mendera
Kehidupannya bak matematika,
penuh akan rumus dan tantangan
Hari demi hari…., mendefinisikan
siapa mereka Ya… !!!!!
Merekalah si kecil yang terlunta,
menyusuri deret trotoar panjang ×
lebar
Menembus keramaian di antara
matriks berjuta-juta ordo
Singgah disudut-sudut kota yang tak
berhingga
Merekalah salah satu gambaran dari
sisi lukis kehidupan
Logika yang menyatakan dari sebuah
pernyataan anak-anak jalanan
Adakah dari mereka mendapatkan
peluang ????
Adakah dari mereka munculnya
harapan meraih cita ?????

Http://loverakiz.blogspot.com/

Senin, 28 Oktober 2013

antara rasa n asa

---Antara Rasa dan Asa---
Sejengkal rasa yang ada begitu sulit
terlupa
Sejuta asa namun telah sirna
Akankah rasa ‘kan mewujudkan asa?
ataukah naif bila asa menggugah
rasa?
Dulu dipuji kini tercaci
Dulu dipuja kini terhina
Kemana ‘kan kubawa asa?
Kepada siapa ‘kan kutambatkan rasa?
Semua sirna dan sia-sia
Nirwana…
Sakitku adalah bahagiamu
dan bahagiaku adalah bersamamu…
Apa yang kau sebut nama itu adalah
kumpulan huruf-huruf yang terpahat
pada kertas putih dan menancapkan
gemanya hingga jauh ke lubuk hati.
Lalu ketika nama itu tersebut
membuat hati menjadi berdegup
kencang dan hati bergetar.
atau nama yang kamu maksud itu
adalah kumpulan rasa yang kita
identifikasikan lalu saat ia tak perlu
disebut karena menyatu dalam rasa.
yang mana kau sebut nama, antara
CINTA dan DIRIMU???
Bukankah saat cinta menjelma maka
namamu bukan lagi DIRIMU tapi
bermetamorfosa menjadi CINTA,
sehingga aku cukup memanggilmu
CINTA, dan tak perlu lagi memanggil
namamu...

Sabtu, 26 Januari 2013

KENANGAN DALAM GERIMIS

Bintang berdiri di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”. Carissa tersenyum meminta maaf.Bintang merebahkan tubuhnya di pohon besar dan Carissa pun mengikutinya. Mereka berdua sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara kepada diri mereka masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini ?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Carissa merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Ca, gue hanya takut.” Bintang melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang lo Bintang, gue udah anggep lo jadi ade gue sendiri.Kita ini saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Carissa menatap Bintang lekat-lekat.
“Makasih Ca.” Mereka pun berpelukan dan Bintang menumpahkan air matanya, untuk kerinduan akan orang tuanya, kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda masing-masing.Bintang merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Bintang lo cerita dong, lo udah janji bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Ca.” Bintang menyeringai, meminta dan memohon kepada Carissa.
“Lo dulu ah.” Carissa mengelak.
“Lo dulu Ca, entar abis lo baru gue, janji deh.” Bintang berusaha meyakinkan Carissa.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Bintang terdiam, bukankah itu yang akan dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Carissa? Lalu bagaimana?
“Bintang lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Bintang, gue tau ko lo suka sama Doni kan?”
Bintang menganngguk pelan dengan ragu dan menatap wajah sahabatnya yang sedang gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Doni , kenapa harus dia yang terlibat? Bintang mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Bintang masuk ke dalam rumahnya, dia meletakan sepedanya dengan asal di perkarangan rumah.Dia enggan untuk mengembalikannya ke dalam garasi mobil.Bintang langsung menuju kamarnya, meyalakan lampu dan duduk di depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia tak merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini sering turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai gerimis dan pelangi sehabis hujan. Bintang melihat kompleks perumahannya yang berderet memanjang saling menghadap ke jalan. Bintang mengambil buku dan pensil kesayangannya. Dia menulis dan terus menggoreskan isi hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan, aku lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah mereka tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa setiap aku menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati ini sejuk setiap kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa dia adalah cowok yang luar biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi kadang tatapannya begitu kosong, bahasa tubuhnya begitu dingin dan kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk bersamanya. Kami memang tak sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa basi. Carissa bilang dia menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa aku bisa masuk ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian yang selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Bintang merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh ke samping kannanya menatap foto orang tuanya. Mama Papa, jangan tinggalin aku.Carissa, Bude Rini, Opa,Om Roy, kalian orang-orang yang sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........ Tiba-tiba suara itu menghantam telinga Bintang. Bintang terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya.Tak perlu waktu lama untuk memikirkan dari mana arah suara itu.Bintang langsung keluar dari kamarnya menuruni tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya ketika masih berdiri di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama menangis? Mengapa Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa dengan semua ini? Bintang kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia langsung melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Bintang kembali menumpahkan air matanya.
Tuhan mengapa mereka harus bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus mendorongnya hingga terjatuh? Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan .. kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Bintang duduk seperti biasa di depan jendela menatap cahaya matahari sore. Dia bosan sendirian, tadi dia melihat papanya pulang dan langsung tidur. Bintang keluar dari kamarnya menjinjing jaket kulitnya dan berpamitan kepada Mbok Rumi untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke luar kota selama satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Bintang berjalan di sekitar area kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan yang di depannya terdapat sebuah danau kecil. Dia bergelayun layaknya saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba ayunan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario tersenyum tipis. Bintang memandanginya dengan teliti, dia selalu mendapat kesan kagum setiap kali memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak yo?”
“Paling gerimis doang.”
Bintang tersenyum bahagia. Mereka berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak, atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Bintang tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Bintang mendongak ke atas langit, menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi, gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis, sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Bintang. Bintang kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah kita berhadapan?”
Mario tak menjawab, dia langsung membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah. Bintang masih terdiam disana dan menatap rumah Mario. Jadi selama ini rumah aku sama Mario satu kompleks dan berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi hari Bintang menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Bintang berdiri di pinggir jalan celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini gak pernah ketemu yah? Bintang berdiri selama setengah jam dan hasilnya nihil. Apa dia berangkat subuh kali ya? Bintang berjalan pergi meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat seperti hari kemarin, harus ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan Mario
*
Bintang duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan bingung. Kok susah banget sih soalnya? Bintang menyesali kebodohannya dalam hitungan. Dia menoleh ke belakang memandangi Carissa, ah dia pasti bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario berucap datar.
“Emang.” Bintang hanya bisa pasrah, dia kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah ....
Kringg.......... bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak berteriak lepas, rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika, dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi keluar kelas dan memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan, sumpah aku gak tahan liat senyumnya.Tiba-tiba Carissa datang menghampiri Bintang untuk mengajaknya pergi ke Mall. Bintang mengiyakan saja karena dia juga bosan berada di rumah asal sampai pukul 4 sore, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima tawaran Mario.
Bintang pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi bersama Carissa. Biar keren turunnya, kata Carissa menjelaskan saat Bintang menolak untuk naik taksi karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang dia?”
“Dia suka Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah ngobrol sama dia di acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul gitu, tapi gue seneng.”Gue juga, jawab Bintang dalam hati.
Setelah asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang berbeda. Carissa bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Carissa adalah anak tunggal dari seorang pejabat dengan predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia, tentu saja rumahnya mewah dan bertempat di kawasan elit. Sedangkan Bintang hanya bertempat tinggal di area kompleks yang sepi dan sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni semua. Sama seperti rumah Bintang yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak bernyawa.
Bintang turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya. Dia berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang ada di bawah kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda motormengagetkannya.
“Cepet naik.” Mario menatap Bintang dengan tatapan yang tajam. Bintang menurut saja kepada Mario, tak peduli dengan rasa malu yang ada dalam dirinya. Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka begitu saja. Bintang mengikuti kemana Mario melangkah. Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4 juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario menyuruh Bintang duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu materi yang menurut Bintang tak mengerti. Mario menyuruh Bintang untuk mengerjakan soal-soal yang ia tulis di buku Bintang. Seperti layaknya murid yang baik, Bintang mengangguk saja setiap apa yang di perintahkan Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat dengan Trigonometri dan Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman, sedang Bintang asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Bintang memandangi foto-foto kecil Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Mario kecil yang ada dalam foto ini. Dia menyentuh semua koleksi gitar milik Mario yang tergantung di dinding kamar.
Mario kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu gelas air putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak terasa waktu sudah menjelang malam. Bintang melirik jam tangannya, lalu membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai.Bintang menuruni tangga dan bergegas menuju pintu utama rumah untuk pulang. Bintang melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya. Ketiba tiba di rumah, Bintang mengintip lewat jendela yang ada di ruang tamu dan memandangi punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya. Bintang tersenyum gembira. Bintang berlari menaiki tangga untuk mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama ayahnya telah tiba.
Ketika Bintang menghabiskan makan malamnya, Bintang bertanya pada ayahnya. “Pah tau gak sih sama penghuni rumah di depan kita? Bintang menatap ayahnya menunggu jawaban yang pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih mengaduk-ngaduk sisa kuah sotonya. “Ayah tahu?” Bintang mengernyitkan dahinya, dia tidak mengetahui siapa pak Hanggara itu. “Bukankah dia sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa anaknya juga seumuran dengan kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Bintang terdiam kaku, otaknya terus berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Bintang menelan ludah.
*
Bintang duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Bintang membuka ranselnya dan mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Bintang seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman tersebut dan tersenyum tipis.
Hari sudah menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan selalu berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun bersama-sama. Mereka sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari ini seperti biasa Bintang menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Bintang mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai tisyu.“Thanks.” Mario menatap Bintang dalam dalam, seakan akan ingin masuk ke dalam dua bola mata yang hitam itu, dua bola mata yang sinarnya redup sehingga terlihat sayu.
Setelah selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan mereka. Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka berdua.“Gue bawa payung.” Bintang mengeluarkan payung dari ranselnya. “Tas lo serba ada.” Mereka pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan mereka masih setengah perjalanan menuju rumah. Lalu Mario melepaskan jaket yang di kenakannya dan mengenakannya di punggung Bintang. “Lo pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar. “Thanks.” Bintang tersenyum manis kepada Mario.
Bintang mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Bintang mencoba melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario berlari masuk ke dalam rumahnya dan Bintang masih berdiri di sana. “Hujan, hari ini kau memberikan rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau mengapa.”
*
Kringgggg......... Hari ini Bintang kesiangan, Mbok Rumi lupa membangunkannya, sedang jam wekernya entah mengapa tak berbunyi. Bintang berlari menuju koridor sekolah dan sempat berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet. Rasa sakit perut yang tiba-tiba datang begitu saja membuat Bintang sedikit menderita. Bintang terhenti ketika dia belum sampai di toilet, dia berpapasan dengan Mario yang sedang menenteng beberapa buku. “Lo kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Bintang yang pucat. “Gue sakit perut.” Bintang memaksakan senyumannya dan langsung melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Bintang menuju toilet, dia berhenti ketika Bintang masuk ke dalam salah satu kamar toilet perempuan. Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti menatap wajah Mario yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak peduli dengan semua itu,ia malah balas menatap tajam permpuan-perempuan yang cekikikan menertawakannya.
Setelah keluar dari toilet, akhirnya Bintang dan Mario duduk bersama di sebuah kursi taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang menatapnya tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula yang terlihat biasa saja. Bintang memakluminya karena dia tahu Mario adalah salah satu cowok famoust di sekolah. Namun terkadang wajahnya yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin, tatapan matanya yang serius membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu saja. Banyak siswi-siswi perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker Mario atau menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong meja Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok dengan Carissa dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan tampan. Tapi Bintang tak pernah tahu siapa perempuan yang Mario suka. Apa Mario selalu menolak perempuan yang menyukainya? Entahlah Bintang tak pernah mengetahuinya. Bintang merasa tak ada perempuan yang bisa membuat hatinya luluh. Bintang berharap dia bisa masuk dalam hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah satu tahun berlalu, Bintang kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Bintang masih bisa mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di sekolah ini. Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi siswa(MOS). Bintang memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas langit menatap langit biru. Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah nyimpen perasaan ini satu tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue tolak, rasanya gue belum bisa .. gue suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo bantuin gue yah?”
Bintang terdiam. Apa yang di katakan Carissa barusan membuatnya terdiam kaku. Bintang berdiri meninggalkan Carissa yang masih terlentang di atas bukit. Bintang pulang menuju rumahnya. Ketiba tiba di depan rumahnya Bintang berpapasan dengan Mario. Bintang memalingkan wajahnya dan bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Bintang membuka pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kenapa hati ini begitu sakit? Kenapa Carissa harus mengatakan hal itu? Mario ... gue takut kehilangan lo.. Bintang melepaskan butir-butir air matanya yang kian lama terus membasahi pipinya.
*
Terik matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah mereka, mereka hanya diam. Bintang sesekali melap keringat yang bercucuran di wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam melihat semua yang dilakukan Bintang, dari mulai menggigit bibir,meremas-remas tangan, menyapu keringatnya padahal sudah tak ada keringat yang menempel di kulitnya,dia mengetahui bahwa Bintang sedang dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Bintang menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan tidak ingin bertanya.
“Carissa suka sama lo.” Bintang mencoba mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Bintang seakan akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Bintang mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Carissa?” Mario berucap datar.
“Gue harap lo mau.” Bintang menarik napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario yang berdiri di depan rumah Bintang. Bintang masuk ke dalam rumahnya dan berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya dan duduk di balik pintu kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas tangannya. Rasanya ia sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa sakit, merasakan apa yang ia rasakan. Bintang tak tahu kenapa ia harus menangis, kaena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah dua minggu berlalu Bintang tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario. Dia tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka selalu di rolling satu minggu sekali. Bintang malas melihat Mario apalagi Carissa yang setiap bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia selalu pura-pura tidak melihat atau membuang muka ketika berpapasan dengan Mario dan Carissa. Bintang benar-benar menjauhi Mario dan Carissa. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan berdua atau hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut. Apalagi kalo Bintang harus melihat Mario yang membonceng Carissa di saat pulang sekolah. Meski bintang menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa Mario yang tak berhak untuk bertindak seperti itu, tapi Bintang merasa hatinya begitu sakit ketika Carissa benar-benar memiliki Mario. Mengapa dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Carissa? Carissa nyaris sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya, famoust dan baik. Rasanya dunia tak adil bagi Bintang, dia tak begitu cantik, dia lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak harmonis, tak banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang senang ikut berorganisasi seperti Carissa yang menjabat sebagai ketua OSIS.
Akhirnya aku pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk mengharapkanmu, membiarkanmu berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya aku boleh memilih untuk tidak ingin memilikimu, dan tuhan membuatmu menjadi hal biasa saja untuku. Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh, lunglai, tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya Bintang tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang bertempat di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir tahun yang di adakan oleh sekolah. Bintang menyeret dua kopernya menuju Villa. Tiba-tiba Carissa memeluk Bintang yang datangnya entah dari mana. Bintang terkejut. Mengapa Carissa tiba-tiba memeluknya? “Bintang gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng di sini, maafin gue kalo selama ini nyuekin lo.” Bintang melepaskan pelukan Carissa, dia tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam hari tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi bersama-sama. Kecuali Bintang yang hanya diam menyaksikan mereka semua dari kejauhan. Bintang duduk di atas rumput dan mendongak ke atas langit. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan ikut mendongak ke atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus jauhin gue?”
Bintang terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang berkumpul di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Bintang lekat-lekat. “Maafin gue, gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.” Bintang hanya menunduk tak berani menatap Mario. Bintang beranjak dan akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat, dia tak mau memikirkan Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan mendapati Carissa sedang duduk di jendela kamar. Mereka saling berpandangan lalu saling melempar senyum. Bintang mendekat kepada Carissa dan membelai rambut panjang nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Carissa menatap wajah Bintang.
Bintang tersenyum “Banyak perempuan yang menyukainya.”
“Gue cape, selama ini gue tak pernah tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak berapa kali kita kontekan dalam satu hari? Kita juga pernah nggak kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang istimewa dalam hubungan kami, tapi mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Bintang terdiam setelah mendengarkan pengakuan Carissaa. Dia tak ingin berpikir banyak untuk saat ini. Dia memilih untuk tidur meski sulit memejamkan matanya.
*
Pagi yang cerah Bintang berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia pun terjatuh ke tanah. Bintang meringis menahan rasa sakit akibat luka di kakinya. Lalu dari arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari menghampiri Bintang. Laki-laki tersebut membantu Bintang berdiri dengan merangkul pundaknya. “Thanks.” Bintang mengucapkannnya dengan ragu dan tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba di Villa, mereka berpapasan dengan Carissa dan Doni. Namun mereka tetap melanjutkan langkah kaki mereka menuju kamar Bintang. Bintang duduk di ranjangnya dan menatap laki-laki itu secara perlahan-lahan. “Gue sayang sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan mantap. Gue juga, jawab Bintang dalam hati. Bintang menatap laki-laki itu yang berjalan membelakanginya lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri seorang perempuan yang menatap Bintang tanpa henti. Bintang menunduk tak berani mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya Carissa.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo mau.” Bintang terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia seorang diri di kamarnya. Bintang kembali menatap kakinya yang masih mengeluarkan tetesan darah segar. Oh Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Bintang menatap Mamanya yang masih terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan mereka sudah berubah menjadi dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya dengan menatap mata Bintang lekat-lekat.
“Mama minta maaf sebelumnya karena Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah harus terus menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak terjadi apa. Mama sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa ini keputusan terbaik untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun mulai menangis. Bintang memeluk Mamanya dengan erat, dan mereka pun menangis bersama.
Satu kenyataan yang harus Bintang terima adalah bahwa keluargannya sudah tak utuh lagi dan kekosongan yang selama ini rasakan memang berakhir pada titik puncak dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam hidupnya. Bintang akan tinggal di Jakarta bersama Papanya, sedangkan Mamanya tetap di Bandung untuk tetap mengurus pekerjaannya. Bintang sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini, kota yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Bintang. Dia duduk dan menatap sebuah danau kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau dimana dia tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka, yakni orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Bintang menatap matanya dalam-dalam. Mario memeluk Bintang erat dan membiarkan Bintang menangis di bahunya. Mario merangkul pundak Bintang dan menatap matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau lo sedih, karena gue juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba untuk berdamai dengan kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang sama gue ikut sedih karena gue. Mereka adalah orang yang berbaik hati nan tulus yang menyayangi gue selama 12 tahun. Gue terkadang sedih ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue sering sakit-sakitan jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter bergaul, yang di bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan buat gue.”
Mario , kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu. Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam- diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu- malu.


Satu taun berlalu, Bintang berjalan di sebuah kompleks perumahan yang sepi. Bintang tak pernah merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit pun yang berubah. Bintang menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario Hanggara?”
“Silakan masuk dulu ke dalam.” Ibu itu membukakan pagarnya dan menyuruh Bintang masuk ke dalam rumahnya. Lalu Bintang duduk di sebuah sofa kecil sambil menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat sepi.
“Nak Bintang, Mario sudah pergi satu tahun yang lalu.” Bintang tercekat, nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak. Apakah ia tak salah dengar? Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia sedang bermimpi?
“Mario pernah menitipkan benda ini untuk diberikan kepada seorang gadis yang bernama Bintang. Dia mengatakan bahwa suatu saat nanti gadis itu akan datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan untuk kamu karena selama ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah menerima benda itu Bintang berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang. Bintang berjalan menuju rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan , dia membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali mengingat satu tahun ke belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat bersama ke sekolah. Bintang tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan yang paling berarti bersama Mario.
Bintang membuka pintu kamarnya dan duduk menghadap ke jendela. Bintang perlahan membuka kotak yang di berikan ibu Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di sana. Bintang meraih buku itu dan perlahan mencoba untuk membukanya.

*Gadis itu bernama Bintang, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku masuk SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan orang sebelumnya yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil anak aneh. Matanya yang bulat yang entah mengapa memberi sedikit kehangatan saat setiap kali aku menatap wajahnya. Hari ini aku mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin. Dia selalu menatapku malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku, namun aku tak pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya aku mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia adalah gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku mengetahui bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak pernah menatap wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk  di sampingku di lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa. Kami sering pulang bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama, ataupun bermain di depan danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah menghirup udara luar, karena aku tak mau penyakit ini kambuh dan berubah menjadi lebih parah lagi. Namun akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan darah. Dia pernah menyeka darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena dia begitu baik padaku.
*Aku menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski aku tak pernah mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Carissa. Hari ini Carissa nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali berubah seperti dulu, Bintang menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang tubuhku, rasanya tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Bintang membenciku,  karena Carissa menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin dia pergi dari hiudpku.
*Dia akan pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini. Aku merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan hidupku lebih berarti. Bintang .... aku menyayangimu, selamanya. Terima kasih kau telah memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR YOU, FOR LOVE .. BINTANG
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini ada di sampingku.
“For you for love, Mario” Bintang meletakan seikat bunga lili di atas makam Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi teman yang begitu berarti sampai saat ini.Aku tak akan pernah melupakanmu sedikit pun. Selamat tinggal Mario, aku mencintaimu. Aku hanya berani mengatakannya sekarang, setelah kau pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama cintamu di sini.Aku dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam perjalanan.Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu- abu. Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…

KASIH PUTIH

Menyusuri jalan kota malang yang masih diselimuti kabut, dingin menusuk tulang dan sendiku. Kota asri dengan keramahan pendudukannya, seolah menyambut siapa saja yang hendak singgah. Tapi kerinduan akan kota pelajar ini tak bisa kubendung. Dudukku di trotoar alun-alun bunder sambil pandangi gedung DPRD yang dulu penuh sesak oleh mahasiswa yang memprotes kebijakan pemerintah. Tapi pagi ini, bangunan itu sepi, berdiri kokoh dan angkuh. Dia menyimpan sejuta cerita yang tertulis rapi dalam book storynya. Setelah berlari beberapa putaran, nafasku tak cukup panjang lagi tuk lanjutkan jogging pagiku.

Masuki lobby hotel tugu, bergegas ku mengambil kunci kamar yang kutitipkan pada recepsionis yang slalu tersenyum ramah, dibalut busana batik, anggun sekali. Kurebahkan tubuh bersimbah keringat ini diatas springbed empuk bercover pink-blue. Kurentangkan tanganku, kuhirup udara pagi kota malang yang masuk dari jendela kamar hotelku yang sengaja kubuka dan matikan ACnya. What a wonderfull city batin ku. Puas beristirahat, ku basahi tubuh dengan air mawar yang tlah disiapkan oleh room service. Nyaman banget, aroma lembut mawar berikan berjuta ketenangan. Brendam sambil menikmati secangkir coffee latte hangat…. Ehm… what a life!

Jam 9.15 pagi bergegasku tinggalkan kamar hotel dan naiki taksi yg tlah ku pesan sebelumnya. Duduk dibangku belakang sambil pandangin kota Malang yang tak banyak brubah, kecuali banyaknya ruko berjejal dispanjang jalan. Pasar pagi di stadion Gajayana tak lagi ada, digantikan oleh mall yang berdiri megah.
Pasar pagi? Ehm…, spontan ku tersenyum. Ada banyak kisah manis disitu.

Tiba-tiba lagu melo Danial Sahuleka memecah lamunanku. Kuangkat telpon dan menjawabnya ”Sampai mana Chie?” Tanya lelaki dengan suara beratnya. “bentar lagi. Sabar ya” jawabku. “Pak kebut dikit ya” pintaku pada sopir taksi.

Lima menit berselang, aq tlah sampai di depan rumah mungil bercat biru. Stelah membayar taksi, kupencet bel rumah yg berbentuk sapi, mooow…. Mooow….bunyinya. Tak lama berselang sosok tinggi keluar, bukakan pintu pagar lalu persilahkan aku masuk.
“mo minum apa?” tanyanya ramah beberapa detik setelah ku duduk disofa putih gading miliknya. “air putih aja” jawabku singkat. “tamu jauh kok cuma dapet air putih, coffee or some tea?” tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng menjawab niat baiknya.

Kupandangi punggung bidangnya yang berlalu mengambil segelas air. Sosok yang pernah mengisi hari indahku. Lelaki yang tlah torehkan tinta emas terindahnya dalam buku harianku yang hingga kini masih kusimpan rapi dan kusembunyikan direlung hatiku yang terdalam. Melihat senyumanmu yang suguhkan ketenangan dan kedamaian buat kerinduanku menyeruak, berontak, dan tak terbendung. Kerinduan yang slama ini cukup terobati hanya dengan mengingat tawamu dan hangatnya genggaman tanganmu.
Tak banyak yang brubah darimu, masih ganteng meski tak lagi muda. kamu kini tlah menjelma menjadi sosok dewasa yang tetap sulit tuk ku elak. kamu masih mempesona, lebih mempesona bahkan.

“mikir apa sih?” tanyamu buyarkan anganku sembari menyodorkan segelas air. “nothing” jawabku singkat. Tak begitu lama, kami pun larut dalam obrolan yang sbenarnya hanya basa basi semu sbelum masuki inti dari maksud kedatanganku yang tak lain adalah pintamu beberapa hari yang lalu.
Waktu itu, lewat tengah malam kau telpon aku, kau katakan betapa kau tak bisa hidup tanpaku, betapa beratnya hari-hari yang kau jalani tanpaku, betapa rapuh dan pongahnya dirimu. Kau ungkapkan betapa merindunya dirimu. Kau juga bertutur tentang petualanganmu dengan beberapa wanita yang katamu tak pernah bisa sesempurna aku dalam merenda kasih. Rasa kecewa, haru, sedih, senang, juga bangga tersaji seketika. Memohonmu tuk bisa temuiku, lima menit cukup ga lebih, pintamu kala itu. Aku yang kan mencarimu, aku yang butuh kamu, aku yang bodoh, aku, aku, dan berjuta aku terucap. Tapi sangat mustahil untukku bisa temuimu dikotaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemuimu.
Ditengah obrolan hangat, tiba-tiba kau genggam tanganku. Kucoba tuk menariknya. Tapi kerlingan matamu buatku luluh. Kubiarkan dan nikmati genggamanmu sesekali kau mainkan jemariku. “I miss you” bisikmu “and I still in love with u” lanjutmu. ”How can I live if apart of my soul was jailed by your love? How can I breath freely if my lungs don’t have any air to breath, cos the oxygen was tubed and taken away. And tell me, how can I live normally if my heart was gone long time ago. He prefer lives with u wether with his soul” ungkapan hatimu sambil tetap menggenggam erat jemariku dan pandangiku penuh kelembutan. Ya tuhan, Bantu aku untuk hentikan smua ini. Bantu aku untuk bisa tetap berdiri dan bertahan dari cinta putih ini.

Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, hanya beberapa kali kata “Sorry” keluar dari bibir tipisku. “ aku pulang dulu ya, ntar malem dinner dimana?” tanyaku mencoba alihkan topic pembicaraan dan mengganti suasana yang tlah mengharu biru. Aku takut terlelap dan terbuai dalam mimpi manis yang real ini. Hatiku pun ingin terlena tapi logikaku berkata lain. Tapi kau hanya diam seribu bahasa. Hanya matamu yang coba berbicara dan terus pandangiku. Ah…. Mata indah ini!

“Maaf ya” kata ku, sembari bergegas pergi. Tapi genggaman tanganmu begitu erat. Tak ada daya tuk ku lepaskan, sbaliknya tiba-tiba kau tarik aku dalam pelukmu. Kau memelukku beritu erat seolah inilah pelukan terakhir yang kau miliki. Air mataku terurai. “Ar, aku pun merindu, aku juga ingin bersamamu, tapi….” Aku tak mampu selesaikan kalimatku saat tiba-tiba kau katakan, “I’m dying chie, I’m dying” katamu. Tak ku mengerti kenapa tubuhmu bergetar hebat saat kau ucap kata itu.

Ya Tuhan gimme a clue. “Ar, apa yang salah? Kamu kenapa?” tapi kamu tak mau menjawab apapun selain pelukanmu yang semakin erat. “ Arry, honey….. look at me. Tell me what’s goin on?” pintaku. Sementara kau hanya menggelengkan kepala.

“May I kiss your lips?” pintamu yang spontan buatku ingin lepas dan berlari sejauh mungkin dari pelukanmu. “Chie, I know it’s wrong and I know it’s the biggest sin I give to you, but….. Just once, please Chie. I promise, it must be the last kisses” pintamu mengiba. Tak kupahami diriku yang tlah terhipnotis kharismamu dan biarkanmu mencium bibirku lembut dan mesra. Tersentakku ketika ku tahu kau menangis saat kau menciumku.

“Ar, kamu sakit?” tanyaku beberapa menit kemuadian. “Apa yang kau sembunyikan Ar” tanyaku lagi. “apa yang belum kau ungkapkan slain rasamu yang terlalu padaku?” pintaku mencari kejujuran sembari duduk didepannya. Tapi bibirmu terkatup rapat. Hanya senyum manis yang kau berikan. “ kalo kamu ga mau ngomong, aku pulang aja ya” ancamku. Tapi kamu tak bergeming, duduk terdiam dengan tatapan yang sulit untukku artikan. “ bener nich, aku pulang ya!” ancamku dan mempertinggi nada suaraku.

Kuambil tas ku dan berlalu dari hadapanmu. Tiba-tiba kau peluk aku dari belakang, ciumi leher dan pundakku. “Arry!” bentak ku sambil memberontak mencoba lepas dari rengkuhnya. “malu Ar, malu, apa kata orang nanti!” lanjutku. “Ya Tuhan, tolong buat dia mendengarku, tolong hentikan smua kegilaan ini” doaku. Berkali-kali ku coba lepaskan pelukannya. Tapi, tubuh mungilku tak berdaya melawannya. Dari semula ini adalah kesalahan besar. Tak seharusnya ku menemuimu, berbohong pada anak dan suamiku, juga keluarga besarku. Apa yang kan suamiku lakukan kalau dia lihatku begini. “Ya Tuhan bantu aku tuk lepas. Ampuni otak udangku ya Robb” pintaku dalam hati.

Tak lama kemudian kau lepaskan pelukanmu, ketika tiba-tiba kau berdiri diatas lututmu lalu berkata ”Ampuni aku yang bodoh ini ya, pukul aku kalo kau mau. Tampar aku, biar ku bangun dan hidup kembali. Maki aku semaumu. Aku memang gila. Mengharap sesuatu yang ga mungkin bisa aku miliki. Khayalkan kehidupan padahal tubuhku tlah mati. Maaf ya, hasratku terlalu padamu. Aku coba expresikan rasa yang skian lama ku pendam dan tlah rasuki stiap jengkal tubuhku. Cintaku yang mendalam mengalir dalam aliran darahku hingga begitu sulit tuk ku lepaskan. Kamu lebih dari apa yang mampu kau fikirkan. Kamu sgalanya bagiku” kau berhenti sejenak lalu mengambil nafas dalam-dalam” Tunggu ya, aku punya sesuatu yang tlah lama aku siapin untuk kamu” rasa kesalku buatku tak bereaksi atas pintanya. Tak kuhiraukan dia yang masih bersimpuh. “Chie, skali ini aja, tolong dengarkan aku, ya…. Cantik!” rayumu buat ku luluh dan tersenyum.

Kamu bergegas masuk kerumahmu, dan tak lama kemuadian kamu keluar membawa bungkusan kado warna biru tua, berhias bunga mawar merah diatasnya. “jangan dibuka sebelum kamu sampai Jakarta ya…! Janji ya…. “ pintamu. Aku mengangguk lalu meninggalkan rumahmu. “Chie! Panggilmu, “ aku anter ya” lanjutmu. “Ga usah, thanks ya” jawabku cepat. “please Chie, ya… aku khawatir, ntar kamu kenapa-napa lagi?” argument mu buatku tak punya pilihan kecuali iya.

Jarak rumahmu ke hotel Tugu tak terlalu jauh, ga sampai 15 menit. Tapi laju mobilmu yang begitu pelan diiringi suara khas Sade Adu, serasa melayang pada masa remaja ku dulu, masa indah yang kulalui bersamamu. Raut bahagia terpancar jelas di matamu, sesekali kau belai lembut rambutku, dan sesekali pula kau genggam erat tanganku dan menciumnya mesra. Hatiku tertawa, kita tak ubahnya sepasang manuasia yang dimabuk asmara. Tak kusadari kalau dari tadi mobilmu hanya berputar-putar dijalanan depan hotel tugu. “ Ar, kita da sampe, mampir yuk” ajakku. Kamu hanya tersenyum. “ soal dinner aku ga janji, tapi I’ll try the best. Ntar aku kabari ya” katamu sebelum beberapa saat berlalu dengan mercy new eyes mu.

Kumelangkah dengan hati berbunga skaligus rasa bersalah yang sama kadarnya. “Sore mbak”, sapa pak satpam ramah. “sore juga pak” jawabku sambil bergegas menghampiri resepsionis tuk mengambil kunci kamarku. Sesampainya di kamar, kuletakkan kado Arry diatas nakas samping ranjang. Pikiranku berkecamuk. Senang sedih, takut, bahagia tercampur jadi satu dalam wadah kebimbangan.

Tiga jam berlalu begitu lambat. Berkali-kali kulihat jam tangan. Tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Tak jua sms ataupun telpon darimu. Kurebahkan lagi tubuhku diatas springbed empuk ini sambil memeluk bantal, kupandangi kotak kado dari Arry. “kira-kira apa isinya” rasa penasaranku buatku tak indahkan janji yang kuucap. Perlahan ku buka bungkusnya. Ada beberapa kertas dan sebuah kotak perhiasan disitu. Kuambil kotak perhiasan dan membukanya, “wah…. Cantiknya” seruku. Sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian yang lumayan besar dan berkilau indah. “Tapi… untuk apa dia memberiku cincin ini?” Tanyaku dalam hati. Kuambil beberapa lembar kertas yang masih tertata rapi dalam kotak kado itu. Ya tuhan, betapa terkejutnya aku saat ku baca kalau kertas kecil itu berisi BPKB mobil dan STNK atas namaku beserta kuncinya, walau pajaknya tlah mati. Kuambil lagi lipatan kertas kedua, ku buka dan ku baca dengan cermat dan seksama. Ternyata lembaran ini berisi fotokopi sertifikat tanah dan rumah yang juga atas namaku, beralamatkan tempat tinggalnya. Rumah yang tadi aku singgahi. Rumah yang menyimpan banyak kenangan manis dan terlalu indah untuk ku kenang. Kuambil satu lembar kertas yang tersisa, tulisan tanganmu bertutur sperti ini:

“My lovely Chie, sorry kalau apa yang kuberikan ini membuatmu berfikir dan bertanya-tanya. Hanya ini yang mampu kuberi padamu. Hanya dengan ini ku tetap bisa menggenggam erat cintamu. Sertifikat tanah dan rumah yang asli ada dinotaris, sertifikat ini hanya butuh tanda tanganmu untuk mengesahkannya. alamatnya ada dimamaku. Kalau saatnya tiba, beliau kan menghubungimu. Tolong, jangan ditolak ya. Soal cincin berlian itu, anggaplah itu sebagai tanda dari ikatan benang merah hati kita. Walau apapun yang terjadi benang merah ini akan tetap terikat dijari manisku. Benang merah yang tlah terikat di jari manismu jangan dilepas ya…. Biar ku bisa melihat dan merasakan kebahagiaan yang kau rasakan. Biarku bisa memohon doa dan berimu semangat kala kau jatuh. Cincin ini Cuma simbol, tak sebanding dengan cintaku padamu. Tak sebanding dengan hasratku yang haus akan hadirmu.

Love you much Chie, my eternal love”

Air mataku mengalir deras bak Niagara. “Apa yang kau sembunyikan dariku Ar?” Tanya hatiku. Kuambil handphone ku untuk menghubungimu. Tapi, belum juga kugenggam handphoneku, Danial Sahuleka tlah berdendang merdu “you make my world so colourfull, I’ve never had it too good, my love I thank you for all the love you gave to me…..”
Kulihat siapakah yang menghubungiku, ternyata ini darimu. Ku jawab telpon mu, tapi… kanapa seorang wanita dengan suara berat menahan tangis yang menghubungiku? Siapa dia? “Chika, ini tante, mamanya Arry, kamu dimana nak? Arry… Arry… “ Wanita paruh baya itu tak mampu merampungkan kalimatnya. Tak lama seorang laki-laki dengan suara yang amat berat dan parau melanjutkan penggalan kalimat tadi “Chika, bisa dateng kesini nak, Arry… kritis, skarang ada di ICU di rumah sakit Beta, kamu tahukan nak, sekarang ya sayang” laki-laki itu langsung mematikan telponnya. Tanpa perduli seribu Tanya yang menjejali otakku. Aku lemas seketika. “Arry!!!” teriakku dalam hati.

Aku bergegas menuju lobby hotel menitipkan kunci kamar dan memanggil taksi yang kebetulan lewat didepan hotel “Rumah sakit Beta pak, cepet ya pak!” kataku pada sopir taksi itu. Sesampainya dirumah sakit aku berlari secepat mungkin tuk dapat melihatmu endless love ku, tak ku hiraukan suster rumah sakit yang menegurku untuk tidak berisik dalam rumah sakit.

Sampai diruang ICU, kulihat tante Leni yang tak hentinya menangis di pelukan om Burhan-suaminya. “Om, tante… Arry gimana?” tak seorangpun yang menjawab. Tante Leni lalu berdiri dan langsung memelukku. Tangisnya tak terbendung lagi. Aku berusaha menenangkannya, walau seribu tanya yang berkecamuk dihatiku belum terjawab. Kuajak tante Leni untuk duduk kembali. Pelan-pelan kuulang kembali pertanyaanku tadi.

Tante leni masih larut dalam dukanya, sambil menepuk-nepuk punggung tanganku, kemudian dia bercerita “ Arry kena kanker otak stadium lanjut, dia bisa bertahan sampai sejauh ini merupakan keajaibanNya. Besarnya cinta yang dia miliki membuatnya mampu bertahan. Dia ingin menjemput impian. Tapi dua tahun yang lalu saat dia tahu kamu tlah menikah, dia langsung drop. Kami harus membawanya ke Amerika waktu itu. Tapi tak banyak yang berbeda, smangatnya yang berapi-api sirna sejak saat itu. Kami trus berusaha tuk buat dia bangkit lagi. Hingga stahun lalu om temukan alamatmu dijakarta. Kami sempat tinggal disana beberapa bulan. Tak jarang juga om dan tante berhenti beberapa waktu didepan rumahmu, menemani dia yang ingin melihatmu. Sejak itu dia mulai bangkit lagi. Aku mau sembuh, aku ingin menemuinya, kata Arry penuh semangat waktu itu. Makanya dia tak pernah berhenti berusaha sembuh, aku ingin terlihat menarik didepannya, kata Arry lagi” tante berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya “saat itu, tiga tahun lalu dia ajak tante kesebuah toko perhiasan di Jakarta. Lama tante membantunya memilih-milih cincin yang pas dengan yang diinginkannya. Chika suka yang simple ma.ucapnya. Tapi dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kepalanya sakit, kami memacu mobil kencang agar cepat sampai dirumah. Tapi begitu tiba dirumah, dia pingsan cukup lama. Dan akhirnya kami putuskan untuk membawanya kedokter, setelah melewati beberapa tes, diketahui dia mengidap kanker otak. Dokter memfonisnya takkan mampu bertahan lebih dari 3 bulan. Dia tak mau melihatmu sedih dan menangis. Lebih baik kamu membencinya daripada membuatmu sedih karena kematiannya. Oleh sebab itulah dia memilih memutuskan hubungan kalian. Tapi seminggu yang lalu beberapa kali dia minta maaf sama tante dan om, dia bilang kalau waktunya tak banyak lagi” tante lalu terdiam, tertunduk lesu dan larut dalam duka yang mendalam. Cerita tante Leni tentang anak semata wayangnya ini membuat ku lemas dan hancur. “Kenapa tak kau katakan ini dari dulu Ar, aku bisa menjagamu, merawatmu. Aku juga sayang ma kamu, hingga detik ini pun sesungguhnya ku pun masih sangat menyayangimu” jerit hati kecilku yang sesalkan keputusanmu. “boleh saya melihatnya tan” tanyaku yang kemudian dijawab dengan anggukan om Burhan yang berusaha tetap tersenyum.

Memasuki ruang ICU, kulihat Arry yang terlelap dalam dunianya. Terbaring lemah dengan berbagai slang dan alat Bantu yang menancap ditubuhnya. Arry empat jam lalu kamu masih sehat. Empat jam lalu ku masih bisa memelukmu, dan empat jam lalu ku masih bisa berbagi bersamamu. Kucoba memelukmu walo terhalang oleh alat-alat yang buatku tak leluasa. Kuciumi wajahmu, kubelai rambutmu yang begitu indah. “I love you Ar, I love you” bisikku ditelingamu berharap kau mendengar dan menjawabnya. Kutarik kursi yang ada didekat ranjang sempit ini. Kugenggam erat tanganmu. Kuciumi berkali-kali. ”Ar, ini aku datang, aku Chie, your eternal love” aku berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Ar, beri aku isyarat kalo kau mengerti yang kukatakan?” lama aku larut dalam ceritaku yang hanya aku pendengar skaligus penuturnya. Beberapa jam berlalu, aku tertidur dengan tanganmu dalam genggaman. Tiba-tiba ku terbangun, sebuah belaian lembut dirambutku. Sesekali mengelus tanganku. Ku angkat tubuhku yang bersandar didekatmu. Dan betapa bahagianya aku, saat ku tahu kamu tlah sadar dan tak terlihat sakit sedikit pun. Aku yang senang campur haru menghujanimu dengan berjuta Tanya yang slama ini ku pendam. Tapi kau hanya tersenyum lalu membenamkanku dalam pelukmu. Kau tempelkan jari telunjukmu dibibirku sbagai isyarat agar ku diam. Sambil memelukku tanganmu memainkan rambut panjangku. Sesekali kau cium keningku dan bisikkan “I Love You” Air mataku tak berhenti mengalir, basahi dadamu. Sesekali kau menarik nafas dalam-dalam. “berat ya?” tanyaku. “ntar kamu cape lo, aku kan berat” lanjutku. “gapapa, aku ingin terus memelukmu hingga saatnya tiba” jawabmu lirih. Kucoba untuk tetap tersenyum, senyum termanisku. “Ya Tuhan, beri dia kesempatan tuk hidup lebih lama lagi” doa hatiku. “dia terlalu baik, terlalu manis untuk meninggalkan dunia ini” lanjutku dalam hati.

Beberapa menit kemudian nafasmu mulai tak teratur, detak jantungmu pun begitu. Kupanggil om dan tante juga suster jaga. beberapa petugas rumah sakit dan seorang lelaki paruh baya bergegas masuk. Kami dipersilahkan keluar agar tak mengganggu pemeriksaan. Tapi kamu yang terus menggenggam tanganku, dan panggil namaku meski kau mulai tak sadar buatku hanya mampu bersimpuh disamping ranjang rumah sakit ini. Aku tak tahu alam bawah sadarmukah yang berbicara ataukah memang dirimu yang tersadar tapi tak mampu membuka mata. Berkali-kali kau ucap I love you chie, I love you. Jangan tinggalin aku lagi ya. Aku hanya menganggukkan kepala. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Genggaman tanganmu melemah, kulepaskan pelan-pelan dan meletakkan tanganmu disamping tubuhmu. Detak jantungmu mulai normal lagi, dan nafasmu juga tak lagi tersengal-sengal. Kumelangkah pelan meninggalkan ruangan dingin ini. “Chika” panggilmu lirih “ya” jawabku spontan.

“Kenapa kamu masih terjaga?” Tanya batinku, padahal dokter tlah menyuntikan beberapa cc opium tuk buatmu tenang dan lepas dari rasa sakit yang begitu hebat. “jangan pergi ya” Pintamu sembari mengulurkan kedua tanganmu. Kupeluk tubuhmu yang mulai melemah. “titip papa mama ya, dulu hanya aku yang mereka punya, sekarang jadilah putri papa dan mama menggantikan posisiku” lanjut mu dengan suara pelan. “jangan ngomong yang aneh-aneh ya, kamu pasti bisa sembuh dan bertahan” bantahku coba berikan spirit padanya. “I love you so much Chie” katamu lagi. Kemudian pelukanmu tak lagi erat, tak kudengar lagi detak jantungmu. Spontanku berdiri, berteriak histeris dapati mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. “Arry! Arry! Bangun Arry!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuhmu. Paramedis berlari menghampirinya. Dikeluarkan alat yang mirip setrika. Tubuhmu terguncang hebat saat alat itu ditempelkan didadamu. Hal yang sama mereka lakukan berulang-ulang. Hingga akhirnya mereka menyerah dan menggelengkan kepala. Suster cantik berseragam putih itu lalu menarik selimut putih dan menutupkannya diseluruh tubuhmu juga wajahmu. Dokter paruh baya itu tak berkata apa-apa, hanya tepukan hangat dipundak om Burhan sebagai support dan rasa prihatin. Tante lena menangis histeris, sementara aku tetap menggenggam tanganmu meski tanganmu tlah menyilang diperutmu. Kubelai dan kuciumi wajahmu. Kenapa harus berakhir seperti ini. “Aku ga butuh rumah, mobil, atau apapun darimu Ar, aku ingin melihatmu hidup dan bahagia. Love you Ar” bisikku ditelingamu beberapa detik sebelum petugas membawamu ke ruang jenasah. Mempersiapkan perjalananmu pulang sebelum kemudian disemayamkan. Tubuhku lemas, rasanya kakiku tak mampu menopang tubuhku. Kurangkul tante Lena yang berjalan gontai. Malam ini kuputuskan untuk menginap dirumah tante. Mencoba menguatkan hatinya.

Pagi ini dipemakaman keluarga sanak saudaramu, sahabat juga kerabat jauh pun berkumpul, menghadiri pelepasanmu menuju keabadian. Acara berlangsung dengan hikmat hingga acara itu selesai. satu persatu mereka meninggalkan pelataran ini. Hingga hanya aku yang tersisa, duduk sendiri, terpekur dalam doa. Entah ini hanya imagiku ataukah halusinasi, kulihat bayangmu didepanku. Tersenyum manis lalu berkata, “jangan nangis lagi ya, aku tak kan pernah jauh darimu, aku selalu disampingmu. Bersama sang bayu yang bertiup lembut ditelingamu”. Aku tersentak! Tiba-tiba bayanganmu menghilang. Hanya sepi yang kurasakan, aku berdiri dan tinggalkan areal ini. Sesekali aku menoleh kebelakang. sampai ketika hendak menaiki mabil yang membawa iringan keluarga, aku menoleh lagi kebelakang, berharap masih dapat melihatmu. Tapi itu hanya anganku. Perlahan iring-iringan mobil mulai menjauh, dan betapa terkejutnya aku saat ku lihat sosokmu berdiri disamping pusaramu.

Sesampainya dihotel, aku langsung memesan tiket pesawat dengan keberangkatan hari ini juga Kukemasi barangku, berharap secepat mungkin tinggalkan kota indah ini. Membingkai apik catatan cinta putihku yang sekian lama coba lupakan. Menata bait-bait puisi hati yang hancur karna kepergianmu. Mencoba menyulam kembali kain cintaku yang tlah sobek dan lapuk oleh waktu.

Selamat jalan Arry, slamanya kau kan jadi my endless love. Bantu aku tuk menyembunyikannya ya, agar tak ada seorang pun yang kan terluka saat mengetahui rasaku yang masih terlalu dalam padamu.

GORESAN LUKA

Kata-Kata Sedih: Goresan Luka

Kiriman berikutnya datang dari Rica Nuruljannah, merupakan ungkapan kata-kata kecewa untuk seseorang yang sudah mempermainkan ketulusan cintanya. Dalam curhat-nya tersebut terlihat jelas kekecewaan yang begitu mendalam. Bagaimana tidak, ketulusan cinta untuk orang yang dicintainya pada akhirnya dibalas dengan pengkhianatan. Indah diawal tetapi sayang, pada akhirnya hanya menyisakan kepedihan mendalam.

Harapan dan cinta yang begitu besar hancur seketika setelah yang dicintainya menghilang tanpa kabar. Kata-kata manis yang dulu sempat terucap kini hanya tinggal kenangan, meninggalkan kesedihan, kecewaan dan goresan luka yang mendalam. Hanya harapan dan do’a semoga takkan terulang kesalahan untuk kedua kalinya dimasa depan.


Berikut curhat kiriman dari Rica Nuruljannah yang dikemas dalam untaian kata-kata sedih: Goresan Luka. Semoga menjadi pelajaran untuk semua pembaca.

Goresan Luka

Pagi... Siang... Sore... Malam...
Sekarang tidak ada lagi yang aku tunggu datangnya dirimu
Kerjaan aku menunggu sudah selesai saat kamu pergi dari hidupku
Setiap malam sebelum aku tidur
Kamu selalu menghampiri aku dan mencium keningku
Tapi sekarang tidak ada lagi saat seperti itu

Saat aku lemah menghadapi ini semua jalan yang aku lalui berliku
Kamu memberikan aku kekuatan agar aku tetap bertahan dengan senyumanku
Saat aku terjatuh…
Kamu membangunkan aku dengan memberi aku semngat
Bahwa aku pasti bisa melewatinya

Semua berjalan begitu indah...
Aku bertahan hidup karena ada kamu yang setia di sampingku
Ketika semuanya indah...
Pada saat itu kamu telah mempermainkan aku

Tanpa sadar aku terjerumus kedalam jurang permainanmu
Karena aku... Sungguh terlena dengan rayuan manismu, dan mulutmu yang berbisa
Tak terpikirkan kalau kamu akan menyakiti aku
Kata-kata manis kamu umbar padaku... Tidak lagi kamu buktikan padaku
Kini hanya tinggal omong kosongmu saja yang tak berguna buatku

Andaikan kamu tau dirimu begitu berarti bagi ku
Kamu bagaikan mentari yang menyinari jagad raya ini
Sekarang kamu menghilang bak ditelan bumi
Kekosongan dan kehampaan menjadikan hati ini gelisah
Kamu begitu kejam pergi meninggalkan aku
Tanpa kamu pikirkan perasaanku

Andaikan dulu kita tidak mengenal
Mungkin saja aku tidak akan merasakan sakitnya dikhianati
Tak dapat aku putar kmbali waktu yang dulu.
Membatu dan membeku sudah dirimu yang halus itu
Tangisanku tak berujung reda mengingatmu begitu menyiksa batinku
Aku sadar... Dirimu hanya untuk menyakitiku...

pasangan hati

Mencari Pasangan Hati
Andri telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat musim panas mulai bertiup, Andri melakukan perjalanan ke Yogya. Di tengah perjalanan, Andri memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di Sekitar Malioboro. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Andri tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Andri untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Surya. Menurut temannya itu, keluarga Surya adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan
Andri. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Andri girang bukan main. Sebelum berpisah, teman Andri berjanji untuk mempertemukannya dengan
‘Pak Comblang’ dari keluarga Surya, esok pagi. Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Andri kepada gadis tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Andri akan segera berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan. Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Andri. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini Andri merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan yang murni… Ah… Tak terasa air mata Andri berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu’ dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi? …..
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Andri telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya… Di bawah sinar bulan sabit yang kepucatan, Andri bergegas menuju tempat itu. Fajar belum juga merekah ketika Andri sampai di tempat yang dijanjikan. Sepi sekali… Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Andri benar-benar sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Andri mencoba mengitari bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya. Andri berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah…
“Hei, masuklah!” “Jangan mengintip seperti itu!” Andri tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu. “Ayo, masuklah. Jangan takut!” Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Andri ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam. “Kemarilah!” ajaknya tanpa melihat muka Andri. Andri memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Andri. Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan : “Belum saatnya Andri …. Belum saatnya.” Andri menatap wajahnya dengan penuh kebingungan. Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan.
Kali ini ditatapnya Andri dengan ketajaman jiwa. “Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta’ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya… Hmmmm….. seperti benang sutera.” “Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka.” “Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu.” Laki-laki itu terdiam sesaat. Andri kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan seksama.
“Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti… Bayangkan… Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan.” “Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. Ia tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada mereka…. Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhhhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri… Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang.” “Ketahuilah,Andri… Masalah jodoh adalah rahasia Allah… Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu.”
“Bagaimana dengan aku!” sela Andri. “Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Surya? Apakah ia takdirku?” tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum. “Belum saatnya Andri… Belum saatnya! Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya, meskipun kalian sudah tua renta nanti… Hal ini tak lepas dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu.” “Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun.” “Hah!” Andri kebingungan. “Jadi saya harus membujang selama 10 tahun??!” Andri menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Andri mencari kesungguhan di sana… Tapi semua sia-sia… Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun. Dan Andri menyadari semua adalah kebenaran. “Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!” Andri memohon padanya. “Oh, gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan.”
Kukuruyukkkkk….!! Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan… Andri tersentak. Kukuruyukkkkk….!! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Andri dari tidurnya. Ah.. rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah… Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Andri bersegera mengambil wudhu… Sehabis sholat subuh, Andri kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki. Andri belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa dilakukannya : mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu! Lalu Andri pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan ia berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang.
Fajar telah lama merekah saat Andri tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai… Namun belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Andri lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan. Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. “Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!” Andri menatap kembali bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur… Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur. Andri kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena ‘Pak Comblang’ dari keluarga Surya tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan.
Tanpa suatu penjelasan apapun. “Ah… sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula! Saya adalah seorang yang terpelajar… sudah selayaknya saya mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat!” Semakin lama Andri memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Andri khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak dapat tidur semalaman…
Keesokan harinya… Andri pergi ke pasar bersama dengan pelayan setianya. Andri menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Andri dan pelayannya berdiri di belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Andri menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak : “Pembunuh! Pembunuh!” Kegemparan pun segera menyebar ke seluruh penjuru pasar…
Sementara itu, Andri dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian. “Kau berhasil membunuh dia?” tanya Andri terengah-engah. “Tidak,” jawab pelayannya. “Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai mukanya, dekat alisnya.” Andri segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Andri memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan.
Tiga tahun kemudian Andri dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Hartono. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar.. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik. Semua orang memberi selamat pada Andri. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Andri menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain.
Selama dua tahun Andri berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota terpelajar. Maka Andri pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Andri menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang. Andri jatuh hati padanya dan bersegera menemui orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Andri bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan.
Selama beberapa hari, Andri berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu. Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Andri bersedia menunggu sampai ia sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Andri dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta Andri melupakan dia. Ia mohon agar Andri mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Andri mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera dilangsungkan. Namun malang tak dapat ditolak… tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Andri. Andri menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Yogya. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya, Hakim Sulaiman, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya… hingga mengusulkan Andri untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Andri. “Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua untuk menikah.” Pejabat itu menasehati Andri tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Andri menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias…
Andri benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya ternyata masih muda, Andri lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan Andri harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Andri, dengan tata rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran juga…
Tak kurang dari satu bulan, Andri telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya, “Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?” Istri Andri menyibakkan rambutnya dan berkata, “Lihatlah!” Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya. “Bagaimana bisa begitu?” tanya Andri lagi Sang istri menjawab, “Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan Yogya, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya musuh. Untung ia tidak berhasil membuatku mati, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah kananku.
Karena itulah aku selalu menutupinya darimu.” “Apakah ibu susumu hampir buta?” “Ya. Kok tahu?” “Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh… Semua terjadi begitu saja, seperti ada yang telah mentakdirkan.” Andri kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta’ala. Andri menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir… …dan pada saat itulah, Andri menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ? Saat itu juga, Andri melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur…
Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Andri mendidiknya dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal akan kedermawanannya. Ketika sang anak menjadi Gubernur, Andri telah lanjut usia. Anak dan istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak Andri membangun tempat peristirahatan untuknya.
“Dan segala sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan, agar sekalian kamu berpikir.” (QS 51 : 49).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Setelah membaca cepen romantis diatas kita bisa menyimpulkan bahwa setiap di dunia ini sudah di ciptakan jodohnya, kita sebagai manusia wajib mencari dan menemukan jodoh yang sudah di tentukan oleh Tuhan. Bersabar, berusaha dan berdoa adalah kunci dari kita untuk mempertemukan pasangan kita.

Cerpen Paling Sedih

 - Setelah membaca "Cerpen Paling Sedih" ini sampai habis, tak terasa aku menangis terlarut dalam cerita sedih yang ada pada cerpen sedih ini. Aku sebagai seorang pria dan juga seorang suami tidak akan pernah melakukan hal yang telah dilakukan tokoh pria dalam cerpen paling sedih ini.

Cerpen Paling Sedih "Berapa Harga Cintamu ??!!"

" Assalamu'alaikum ", salamku begitu terdengar nada telephone diangkat.

" Wa'alaikumsalam " suara Fee' menjawab salamku.

" Gie ngapain ? gie sibuk kerja yah "

" Hehehehe baru bangun nih. Hari ini kerjaan libur. Ada apa ?"

" Engga ada apa-apa sih. Aku cuma lagi suntuk aja di rumah. Pengen jalan-jalan keliling Jakarta."

" Emang mau kemana ?"

"Ya belum tau juga sih, hari Jum'at gini semua temen pada sibuk kerja. Makanya gak tau mau ngajakin siapa buat jalannya, trus keinget kamu deh yang kerjaannya nomaden gitu."

"Nomaden gimana..... kamu ngaco ah, tapi ok lah nanti sorean aku antar. Hari ini aku ada janji ketemu dengan klien. Nanti kalo sudah selesai aku kabarin ya."

" OK deh kalo gitu. Aku tunggu yah"

" Seep. See Yaa "

" See Yaa "

********

Beberapa jam kemudian, aku dan Fee' sudah berada di salah satu sudut caffe dibilangan Jakarta Pusat. Di luar jendela aku lihat mendung menggelayuti langit kota Jakarta. Sambil berbincang, aku ditemani minuman favorit ku, secangkir coklat panas. Sedangkan Fee' lebih memilih hot cappucino kesukaannya.

" Ada masalah apa sebenarnya sih Ra ?", tanya sahabatku seolah mampu menyelami hatiku yang sedang gundah.

" Suamiku selingkuh Fee' "

" What ..??!! "

" Ya.. Dia telah selingkuh, tadinya aku tidak percaya dengan segala apa yang telah diucapkan perempuan itu padaku. "

" Terus.. darimana kamu bisa sebegitu yakin kalau suami kamu sudah benar-benar selingkuh?"

" Dari pengakuan suamiku sendiri "

" Maksudmu, kamu sudah menginterogasi suami kamu begitu ? "

"Sebenarnya aku tidak bermaksud menginterogasi dia. Aku hanya bercerita bahwa ada seorang perempuan yang datang kepadaku dan mengaku bahwa dia selingkuhan suamiku, terus mengalirlah pengakuan itu dari dia" sampai disini kembali kelopak mataku terasa perih. Ada air mata yang menggenang disana. Buru-buru aku seka dengan selembar tisu sebelum air itu menetes di pipiku.

Fee' menggenggam tanganku, seolah ingin menyalurkan ketenangan lewat tangannya kepadaku.
Setelah merasa sedikit lebih tenang, akhirnya aku mampu menumpahkan segala beban di dadaku. Tentang bagaimana sakit dan hancurnya hatiku mengetahui perselingkuhan yang telah dilakukan suamiku. Sesekali aku harus menghentikan ceritaku, agar tangisku tidak meledak.

" Sekarang aku bingung Fee', aku tidak tau harus bagaimana. Aku tidak tau keputusan apa yang sebaiknya aku ambil...."

" Untuk sekarang, kamu tidak perlu mengambil keputusan apa-apa, karena aku tau kamu dalam kondisi yang tidak stabil."

"Tapi aku tidak mau berlama-lama dalam kondisi seperti ini Fee', aku tidak sanggup. Sampai saat ini jalan yang terbaik yang terfikir hanyalah minta cerai."

"Vara, aku yakin kamu juga sudah tau bahwa Tuhan sangat membenci perceraian. Namun seperti kita tau Tuhan juga tidak melarang tentang hal itu. Hanya saja menurutku jangan terlalu cepat mengambil keputusan di saat hati dan pikiran kita sedang labil."

"Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama seperti yang telah aku lakukan. Kamu tau Ra, sebuah perceraian itu sangat menyakitkan. I've been there before, and I regret it 'till now. If I could stop the time, I'm sure I'll turn it back. Tapi semua sudah terjadi, hanya karena terbawa emosi akhirnya aku seperti yang sekarang kamu lihat."

"Aku tau Ra, kamu sangat menyayangi suamimu. Begitu juga suami kamu. Diluar apa alasan suami kamu melakukan kesalahan itu, aku tau kalian saling membutuhkan. Tolong Ra jangan terlalu impulsif... redam dulu amarah serta emosi kamu, mohon petunjuk-Nya. Aku yakin Tuhan akan memberikan jalan terbaik."

Aku menyeruput coklat panas yang tidak lagi panas. Ini gelas kedua untukku.
Aku masih mendengarkan wejangan-wejangan yang diberikan sahabatku for a couple of hour.

Aku lihat di luar sudah mulai gelap. Lampu-lampu jalanan sudah menyala terang.
Setelah meyakinkan Fee' kalau aku sudah merasa lebih baik, kami memutuskan mengakhiri pertemuan.

********

Satu minggu sudah berlalu sejak perbincanganku dengan Fee'. Dan selama itupula aku berkomunikasi dengan suami hanya melalui sms, meskipun kami masih tinggal dalam satu rumah. Itupun aku lakukan apabila ada hal-hal yang penting saja. Aku masih diliputi perasaan yang tidak menentu. Satusisi aku ingin memaafkan kesalahannya, tapi disisi lain ketika mengingat apa yang telah dia lakukan padaku, kembali hati ini tersayat. Di satu sisi aku sudah tidak sanggup dengan pengkhianatannya, namun disisi lain aku tidak mau kehilangan dia. Aku berada di persimpangan yang membingungkan.

" Hun, kenapa sih milih aku buat jadi istrinya sayangku ?" tanyaku disuatu senja di teras rumah kami.

" Kenapa memangnya.. kok tiba-tiba nanya nya begitu ?" dia menatapku heran.

" Yee... pasti gitu deh, kebiasaan kalo ditanya bukannya ngejawab tapi malah balik nanya."

" Ya abisnya... gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba nanya begitu. Emang abis nonton apaan ato abis ada kejadian apa sihhh..."

" Ya engga ada, cuman pengen nanya aja. Ayo donk Hun di jawab..." rajukku.

" Ehem.. ehem... hehehehe... begini ya Sweetyku... Hm... kenapa yaahh... waduh susah nih ngejawabnya.."

" Yeeeeeee...."

" Ok.. Ok..."

"Kenapa aku milih sweetyku buat jadi istriku, karena aku yakin sweety ku bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik buat anak-anakku. Aku yakin sweetyku bisa membuat nyaman suami sekaligus anak-anak kita nanti."

" Terus..."

" Terus... karena aku merasa kekuranganku ada di sweetyku. Menjadi kelebihannya sweetyku. Begitu..."

" Udah..??" kejarku kurang puas.

" Udah."

" Kok jawabnya bukan karena sayangku cinta aku sih..." protesku.

"Sweety.. cinta itu bisa tumbuh dengan cepat, namun bisa padam secepat dia menyala. Tapi aku sayang sama sweetyku, dan buat aku tingkatan sayang itu sudah di atas cinta."

" Hooo.. gitu yah."

"Hun... aku kasih tau satu rahasia yah...", lanjutku sambil menyusup kedalam pelukan suamiku. " Jaman SMA dulu aku sudah nentuin kriteria untuk calon suami lho. Di antaranya, dia harus lebih pinter dari aku disisi agama, tapi di bidang umum juga harus lebih pinter dari aku."

" Tapi dapatnya gak seperti yang diharapkan yah..." godanya.

"Ya engga juga.. seperti kata sayangku tadi, kelebihanku menutupi kekurangan sayangku. Begitu juga dengan aku, kelebihannya sayangku bisa menutupi kekuranganku. Jadinya saling melengkapi gitu."

" Yup betul sekali... tumben istriku pinter yahhh... hahahaha...".

" Sayangggg..... !!!!!" sungutku sambil mencubit pinggang suamiku.

" Awww.... hahaha !!!! "

Aku tersenyum perih mengingat kembali semua kenangan manis itu. Ahhh... betapa sebenarnya aku sangat menyayangi suamiku. Andaikan perempuan itu tidak hadir di antara kami, aku tidak akan merasa sakit seperti ini. Namun apalah lacur, semua sudah terjadi. Dan itu kenyataan yang harus aku terima, mau tidak mau.


********

Aku bergegas memasukkan semua keperluanku ke dalam mobil. Tidak lupa aneka roti unyil kesukaan suamiku serta buah naga kesukaan papa mertua. Hari ini aku akan menyusul suami ke rumah mertua. Sudah dua hari suamiku pulang kesana untuk membantu mama menjaga papa karena kondisi kesehatannya menurun.

Dalam perjalanan, pikiranku kembali berkecamuk. Antara membenarkan tindakanku yang memaafkan dan perasan sakit hati yang mendera.

Perasaan terluka, terkhianati, kecolongan datang silih berganti dengan kenyataan bahwa aku masih sangat menyayanginya, teramat mencintainya. Seperti yang Fee' pernah katakan padaku, cinta... kebahagiaan sejati itu membutuhkan pengorbanan.
Tapi aku juga tidak tau bahwa ternyata pengorbanan untuk meraih kebahagiaan itu demikian berat dan sakitnya.

Kembali terbayang kejadian ketika wanita itu datang padaku. Menceritakan semua hal yang dialaminya bersama suamiku. Ya seorang suami yang kepadanya aku letakkan seluruh kepercayaanku. Saat itu aku hanya mampu terbisu, karena aku merasa seakan jiwaku sudah pergi meninggalkan raga. Jiwa dan perasaanku tersayat. Terluka. Bagaimana mungkin suamiku tega melakukan hal itu. Bagaimana mungkin suamiku tega mengkhianati perkawinan kami. Apa salahku? Apa yang salah pada perkawinan kami? Selama ini semua baik-baik saja tanpa ada tanda pernikahan kami bermasalah. Kalaupun ada riak-riak kecil, itu masih dalam taraf yang sangat wajar dalam suatu rumah tangga. Sudah bosankah suamiku kepadaku? sudah jenuhkah dia menghadapiaku ?. Berbagai pertanyaan yang tidak berujung memenuhi kepalaku. Ya Tuhan... terlalu berlebihankah apabila aku menginginkan hidup dalam cinta, damai dan kebahagiaan ???

Semahal inikah harga cinta dan kebahagiaan yang ku impikan itu ???

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak menyadari mobilku sedang melintas di rel kereta api yang tidak berpalang pintu. Dan aku juga tidak mendengar teriakan maupun klakson yang sahut menyahut mencoba mengingatkanku. Ketika aku tersadar, semua sudah terlambat. Terlambat bagiku untuk menghindar.

Aku hanya mampu menjerit menyadari kereta itu sudah di depan mata. Sebelum akhirnya kegelapan yang aku rasakan. Detik berikutnya, aku merasa demikian ringan. Aku tidak merasa sakit di tubuhku. Aku melihat mobilku yang hancur terlindas kereta di kerumuni orang.

Aku melayang tinggi.
Semakin tinggi dan menjauh.
Membayar lunas harga cintaku.

********

Harlam tertunduk lesu di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Tergambar jelas di raut wajah sedihnya kalau batinnya sedang menangis pilu. Secarik kertas ada di genggamannya. Sejuta penyesalan terbias diwajah piasnya.


Dear Hunnyku..

Hun, did you know how badly you hurt me ??? mungkin rasanya seperti seorang ibu ketika melahirkan (tapi aku belum tau rasanya melahirkan Hun, makanya aku bilang mungkin hehehe). But still Hun ... rasa sayangku lebih besar ketimbang bencinya. Pengen sih Hun aku kabur saja meninggalkan sayangku terus menghilang gitu, bahkan sempat terfikir untuk membalas perlakuan sayangku ke aku. Tapi ternyata aku tidak mampu melakukannya. Aku tidak sanggup. Akhirnya aku sampai pada keputusan ini. Memaafkan sayangku. Karena aku juga tidak mau selamanya menanggung beban sakit hati ini. I Just want to live in love, peace, and happiness... itu saja...

p.s : Hun.. roti unyil ini aku sendiri yang bikin lho, dimakan yah. Ada juga yang rasa durian, kan sayangku paling suka rasa durian. Another surprise for you Hun.... I'm pregnant ... for two week's now.

Luv You,
Vara

Setelah selesai membaca semua isi dari Cerpen Paling Sedih tersebut, apa pendapatmu ? keluarkan semua unek-unekmu dalam komentar ya sob, karena sangat berarti buat saya untuk terus memberikan cerpen-cerpen terbaik di blog khusus remaja online ini.

Namun jangan lewatkan untuk membaca cerpen paling sedih yang lain yang pernah saya update sebelumnya yang berjudul cerita sedih seorang istri atau cerpen keluarga yang menyedihkan mungkin tidak kalah dengan cerpen paling sedih barusan.