blank

hhh"/> hhh"/>
rakiz_blank. Diberdayakan oleh Blogger.

diantaramoe

My Slideshow: Diantaramoe’s trip to Bali, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bali slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

claver's

Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com
Read more: http://epg-studio.blogspot.com/2010/03/mengganti-penampilan-kursor.html#ixzz1zkrh3e3n
RSS

Jumat, 28 September 2012

Malam Kunang-Kunang

dengan 37 komentar

38 suara


Merekalah bocah-bocah yang selalu bahagia. Jika malam tiba, mereka akan berlari-lari girang, mengejar-ngejar dan menggapai-gapai kunang-kunang yang berkerlap-kerlip melayang-layang serupa sebaran serbuk cahaya. Mereka jugalah bocah-bocah yang menghadirkan tawa dan canda di lembah itu hingga membuatnya hidup, terasa dihuni.
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan.
Untunglah sekumpulan bocah-bocah pencinta kunang-kunang ini mendapatkan pelajaran ilmu kehewanan di sekolah sehingga mereka tahu bahwa kunang-kunang tak lebih dari sejenis serangga yang bisa mengeluarkan cahaya yang akan tampak jelas jika gelap malam menyungkup dunia. Mengapa kunang-kunang bisa menghasilkan cahaya dan mengapa dengan cahaya itu tubuhnya sendiri tidak kepanasan atau terbakar, tentu juga bukan lagi menjadi rahasia bagi mereka.
Pak Guru Sadirun pernah menguak semua rahasia mengenai makhluk yang bernama kunang-kunang itu. Berdasarkan buku teks pelajaran, Pak Sadirun menjelaskan bahwa di dalam tubuhnya, kunang-kunang memiliki zat kimia lusiferin dan enzim lusiferase. Untuk menghasilkan cahaya, dua zat ini bercampur. Percampuran ini menghasilkan energi dalam bentuk cahaya. Cahaya itu pun sifatnya dingin, tidak mengandung ultraviolet dan sinar inframerah. Ia memiliki panjang gelombang 510 hingga 670 nanometer dengan warna merah pucat, kuning, atau hijau. Kunang-kunang termasuk dalam golongan Lampyridae yang merupakan familia dalam ordo kumbang Coleoptera. Ada lebih dari dua ribu spesies kunang-kunang yang dapat ditemukan di daerah empat musim dan tropis di seluruh dunia. Spesies ini dapat ditemukan di rawa atau hutan yang basah di mana tersedia banyak persediaan makanan untuk larvanya.
Maka, dengan berkah pengetahuan itu, bocah-bocah ini menjadi tak pernah khawatir dengan larangan orangtua mereka dan mereka tak pernah takut akan kesialan. Bagaimanapun, mereka tetap berlomba-lomba menangkap kunang-kunang. Siapa yang mendapat paling banyak akan dinobatkan sebagai Raja Kunang-kunang. Kesenangan dan kebahagiaan itu tak tergantikan. Hingga, akhir-akhir ini mereka pun tak lagi mendatangi guru mengaji atau guru silat mereka karena kunang-kunang memiliki lebih banyak pesona.
Untuk menghadirkan kunang-kunang, mereka biasanya mendendangkan berulang-ulang nyanyian kunang-kunang itu:
Hai kunang-kunang, datanglah, datanglah…..
Jangan malu-malu pada rindu malam-malam…..
Hai kunang-kunang datanglah, datanglah…..
Jangan ragu-ragu kami tunggu, kami rindu…..
Kunang-kunang sepertinya sudah begitu akrab dengan suara-suara itu sebab setelah nyanyian itu mengalir, sekumpulan kunang-kunang dari semak, dari pepohonan, dan dari mana pun akan melayang-layang menyatu menyerbu para bocah itu, merelakan diri untuk ditangkap tangan-tangan lugu, tangan-tangan milik makhluk yang tak punya hasrat membunuh, mereka yang hanya ingin bermain dan menikmati permainan masa kanak yang bukanlah lagi menjadi suatu bagian diri jika kelak mereka dewasa. Bagaimanapun, tangan waktu dan zaman akan berperan mengubah mereka.
Kunang-kunang yang tertangkap akan dikumpulkan di dalam botol masing-masing. Jika malam sudah genap dan embusan angin lembah mulai membuat kunang-kunang melayang tak tentu arah, maka mereka akan berhenti dan mulai menghitung hasil tangkapan mereka di pos ronda.
Tak ada yang bisa menyaingi rekor predikat Raja Kunang-kunang yang sudah dibuat oleh Yasser Arafat. Hampir selalu, bocah bertinggi badan melebihi sebayanya ini menjadi pengumpul terbanyak. Bagaimana tidak, dia memiliki jangkauan lompatan tertinggi. Dia juga yang paling kuat berlari. Pernah memang, predikat Raja Kunang-kunang menjadi milik Anhar Alifudin. Itu terjadi semata karena Yasser Arafat yang sakit tidak bisa ikut bermain.
Malam ini, Yasser Arafat berhasil mengumpulkan lima puluh kunang-kunang. Kontras dengan Baraq Syariati yang hanya mendapatkan lima kunang-kunang. Dengan badannya yang kecil, Baraq tak pernah mampu melompat lebih tinggi. Juga tak kuat berlari. Dengan begitu, dialah yang selalu menjadi pecundang sejati dan rutin menjalani hukuman dengan mencabut dan mengambil singkong dari kebun milik orang terkaya di dusun itu: Juragan Hussein Akbar.
Usai dihitung semua dan Raja Kunang-kunang sudah diketahui siapa, maka kunang-kunang kembali dilepas. Bocah-bocah bersorak dan kunang-kunang berkerlap-kerlip riang, merasa bangga sudah bisa menghibur sekaligus terhibur berkat tingkah bocah-bocah lugu itu.
Dingin mulai menusuk. Bocah-bocah mengembangkan sarung dan memakaikannya ke badan. Ranting-ranting kering dikumpulkan dan dibuatlah api unggun pengusir dingin di depan pos ronda. Setibanya Baraq Syariati yang membawa singkong-singkong dari kebun Juragan Hussein Akbar, mulailah mereka memanggang.
Kenyataannya, pos ronda yang sudah menjadi markas mereka itu tak pernah lagi digunakan. Orang-orang tua di lembah itu tak bisa setia menjalankan apa yang sebenarnya sudah mereka rancang sendiri. Jika mengharapkan partisipasi para pemuda, tentu tidak bisa sebab semua pemuda dari dusun itu merantau ke kota-kota. Giliran ronda untuk bapak-bapak memang pernah berjalan. Namun, karena dingin lembah itu tak tertahankan dan wajah istri selalu membayang, serta tak pernah ada peristiwa kemalingan, mereka pun tak lagi setia dengan kewajiban masing-masing. Fakta itu justru membuat bocah-bocah pencinta kunang-kunang ini senang. Mereka mendapatkan markas untuk rehat usai bermain.
Sehabis menyantap singkong panggang, tentu banyak angin yang harus dibuang. Dan, bocah-bocah itu menjadikannya sebagai bahan permainan selanjutnya, yaitu perang kentut. Kemenangan dan predikat sebagai Raja Kentut sama prestisiusnya dengan Raja Kunang-kunang. Bagaimanapun, penilaian tidak didasarkan semata pada bunyi yang dihasilkan, tapi juga pada bau yang mematikan. Jika kentutnya berbunyi keras dan berbau busuk, tak diragukan lagi dialah sang juara sejati. Untuk urusan yang satu ini, pemegang rekornya adalah Hang Jebad, bocah paling tua di kumpulan itu.
Biasanya, sehabis perang kentut, malam sudah larut sempurna. Bocah-bocah menyadari itu dan pulanglah mereka segera dan tidur lelap setibanya mereka di pembaringan.
Bocah-bocah pencinta kunang-kunang berkumpul seperti biasanya malam ini. Di sekitar tanah lapang, tak jauh dari semak. Mereka melantunkan dendang kunang-kunang, mengundang kunang-kunang untuk datang bermain bersama sebagaimana biasa:
Hai kunang-kunang, datanglah, datanglah…..
Jangan malu-malu pada rindu malam-malam…..
Hai kunang-kunang datanglah, datanglah…..
Jangan ragu-ragu kami tunggu, kami rindu…..
Meski telah diulang-ulang berpuluh-puluh kali, dendang itu tak sanggup mendatangkan kunang-kunang. Mereka menjadi heran. Setahu mereka, semenjak pertama mendendangkan nyanyian sekaligus mantra pemikat itu, ratusan kunang-kunang terindah dari segenap penjuru lembah selalu berdatangan. Namun, malam ini, semuanya terasa lain, tak ada kunang-kunang yang berkerlap-kerlip terbang mendekat. Maka, lembah itu pun benar-benar menjadi mati dan bocah-bocah itu, untuk kali pertama dirasuki kekecewaan. Apa yang terjadi? Apakah ada kumpulan bocah-bocah lain yang membuat kunang-kunang itu lebih tertarik mendekat ke sana? Bocah-bocah itu tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Malam makin pekat dan awan menghitam dan hujan pun tumpah. Bocah-bocah berlari-lari dalam hujan, berupaya menggapai pos ronda. Di pos ronda, dalam hawa yang dinginnya melumat tulang, bocah-bocah itu membuat diri senyaman-nyamannya dalam penantian. Hujan tampaknya tak segera habis dalam waktu dekat. Anak-anak memutuskan untuk tetap bertahan. Percuma juga mereka pulang di malam yang belum genap seperti sekarang karena pintu rumah masih rapat terkunci. Barulah dibuka kuncinya jika malam sudah larut dan orang tua mereka sudah menyelesaikan ritual hiburan ranjang.
Dalam hujan badai dengan angin yang merontokkan dedaunan itu, bocah-bocah itu mendengar derum sebuah truk yang tenggelam dalam tunggal nada hujan. Jauh dari sini, mereka bisa menangkap—meski tak begitu jelas—gerakan lamban truk itu di sana. Awalnya mereka mengira itu truk milik Juragan Hussein Akbar yang biasa pulang malam sehabis menjual hasil pertanian ke kota, tapi nyatanya bukan. Truk milik Juragan Hussein Akbar berwarna kuning. Meski dalam gelap, kuningnya tetap akan terlihat dari kejauhan. Tetapi, truk yang satu itu berwarna gelap dan tertutup tenda di bagian belakangnya. Tak berapa lama kemudian, truk itu berhenti di tepi jurang.
”Mungkin mesinnya mogok.”
”Mungkin bannya terendam lumpur.”
Mereka pun hanya bisa mengira-ngira apa yang melanda truk itu karena gelap kembali berkuasa setelah dua lampu sorot pada truk itu mati. Truk itu berhenti sekitar setengah jam lamanya di sana dan bocah-bocah pencinta kunang-kunang masih juga berteduh menanti hujan berhenti.
Kedua lampu pada truk itu hidup lagi dan truk itu bergerak perlahan meninggalkan tepi jurang kemudian berbelok di pertigaan, mengambil jalan ke arah kecamatan. Bocah-bocah itu hanya melihat kepergian truk itu dari kejauhan.
Beberapa jam sepeninggalan truk itu, hujan pun reda. Malam sudah larut dan bocah-bocah itu memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun, mereka segera membatalkan niat itu setelah melihat kemunculan kerlap-kerlip kunang-kunang di sekitar tepi jurang, di lokasi berhentinya truk tadi.
Maka, bocah-bocah itu pun berlari riang ke arah kunang-kunang itu dengan segera. Semakin banyak kunang-kunang, semakin girang bocah-bocah. Satu hal yang pasti, kunang-kunang itu tampak tak banyak beranjak. Mereka hanya mengambang bertahan di atas jurang. Meski bocah-bocah sudah mendekat, tetap saja kunang-kunang tak terbang.
Setiba mereka di tepi jurang, bocah-bocah itu didekap rasa penasaran menyaksikan kunang-kunang yang semakin banyak bermunculan dari dasar jurang yang gelap. Bocah-bocah itu tak jadi menangkap kunang-kunang itu. Mereka justru turun ke dasar jurang demi memastikan apa yang ada di sana.
”Mungkin di sana ada kerajaan kunang-kunang.”
”Mungkin….”
Pelan-pelan, mereka menapaki jalan kecil menuju jurang yang licin dan basah. Sesampai mereka di dasar jurang, Baraq Syariati terjatuh. Ia tersandung sesuatu. Anhar Alifudin segera menyalakan senter. Gelap sedikit terusir dan mereka kini mengetahui bahwa Baraq terjatuh karena tersandung sesosok tubuh, sesosok mayat.
Serta-merta mereka dilanda kepanikan yang tak tanggung-tanggung karena tak hanya ada satu mayat saja. Di situ menumpuk banyak mayat dan sudah berbau busuk dan kunang-kunang indah pun semakin banyak. Mulanya kuku-kuku yang terlepas dari jari kaki dan tangan mayat-mayat itu mengambang untuk kemudian menjelma titik-titik cahaya, menjadi kunang-kunang yang indah rupa.
Tak bisa tidak, bocah-bocah itu pun berlari ketakutan meninggalkan jurang itu, meninggalkan tumpukan-tumpukan orang mati dengan luka-luka tembak itu, meninggalkan ribuan kunang-kunang dengan keindahan yang memesona, makhluk-makhluk baru yang menjelma dari kuku-kuku mayat-mayat yang dilemparkan begitu saja dari dalam truk tadi.
Maka, malam itu, wajah dusun kecil di lembah tersebut menjadi terang benderang sebab beribu-ribu kunang-kunang yang baru lahir berpesta dan inilah malam terindah milik mereka semata: malam kunang-kunang.

gelap gelap sekali

dengan 5 komentar
 
 
 
 
 
 
14 suara



Gelap di luar dan hening di dalam. Dengus napas istriku teratur. Lampu tempel sudah kumatikan. Hanya dingin malam yang menyeruak dari celah dinding bambu membuat aku menarik selimut melewati dada. Sesekali suara burung malam terdengar di kejauhan. Barangkali burung hantu yang mencari mangsa, berpindah-pindah dari satu arah ke arah lain. Tanah huma di pinggir hutan mungkin mengubah kawasan hunian binatang sekitar.
Aku sulit memejamkan mata karena nyamuk kecil yang sering mendengung dengan bunyi yang nyaring, sesekali nyamuk itu menerkam kuping. Malam semakin larut ketika merasakan ada sesuatu yang mengusik gelapnya malam. Beberapa rumah panggung terdapat di desa yang baru kami bangun, sekitar setahun yang lalu, tanah garapan baru. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya kira-kira lima puluh meter. Gemerisik sesuatu antara belukar semakin mengganggu ketika terdengar ketukan di rumah tetangga. Derap kaki bersepatu berat semakin jelas terdengar disusul dengan gedoran. Ada teriakan kasar. Aku mengintip dari celah dinding, tetapi tidak ada sesuatu yang tampak. Gelap malam memeluk rahasia malam. Teriakan terdengar ketika langkah kaki itu agak menjauh. Ada pukulan yang keras membuat teriakan lenyap. Sunyi malam mendekap.
Kugoyang-goyang tubuh istriku sambil berbisik, ”Kau dengar suara-suara ribut itu?”
Ia membuka matanya dan menggosok kelopak matanya, lalu menjawab, ”Sayup-sayup. Seolah-olah ada sesuatu yang terjadi.”
”Apa, ya?” kataku seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
Beberapa menit kami tenggelam dalam hening.
Sepanjang malam kami tidak dapat tidur, tak juga berani berbicara atau menduga-duga apa yang terjadi. Rasanya malam merangkak amat lama.
Subuh, ada tangisan dari arah tetangga sebelah.
Ketika ayam berkokok, aku memberanikan diri turun tangga rumah, dan bergegas ke rumah sebelah.
Beberapa orang tetangga lain sudah ada di situ. Aku bergabung dengan mereka.
”Ada apa?” kataku.
Seorang kepala dusun yang kami angkat sendiri malah balik bertanya, ”Tidakkah Saudara dengar peristiwa tadi dalam?”
”Ya, kudengar langkah kaki, gedoran dan orang berteriak karena dipukul. Aku tidak berani keluar. Sepanjang malam aku dilanda rasa takut,” kataku.
Tarmin, kepala dusun itu, kemudian berkata, ”Suami ibu ini tadi malam diculik orang, juga Turman yang tinggal di ujung dusun.”
”Oleh siapa?” tanyaku.
”Belum tahu.”
Tangis ibu Saleh tak henti- henti.
Kepala dusun pagi sekali menghubungi ketiga belas keluarga yang tinggal di perhumaan itu. Kami berkumpul di rumahnya. Yang hadir hanya sebelas kepala keluarga. Dua orang yang hilang pada malam itu. Saleh dan Turman. Saleh si pendiam namun mudah menolong orang. Turman si pemberani yang mendorong kami memulai menggarap tanah di pinggir hutan itu. Menurut kami, kedua orang itu adalah teladan dalam segala hal.
Kurang lebih setahun sebelumnya, kami membuka ladang baru, tanah huma. Jauh dari kampung halaman kami. Jarak kampung halaman kami lebih seratus kilometer, dan untuk sementara kami meninggalkan anak-anak bersama kakek-nenek di tanah leluhur yang sudah sesak penduduk.
Sebagai ladang baru, hasilnya lumayan. Tanah huma membuat tanaman subur, pada panen pertama tentunya. Kami memasuki tahun kedua dalam suasana dusun yang tenang. Rasa persahabatan dan kekeluargaan lebih menonjol daripada sikap bersaing. Kami mengalami nasib yang sama di tanah leluhur yang semakin sempit karena pertambahan penduduk. Rasa persaudaraan yang tinggi terbentuk karena penderitaan yang sama, dan memiliki harapan yang sama. Mengubah nasib. Walaupun di ladang yang sangat bergantung kepada kemurahan alam, hujan.
Pertemuan hari itu sarat dengan usul cara menjaga keamanan dusun.
”Tapi penculikan ini, melihat dari jejak kaki,” kata Sahir, ”rasanya adalah jejak kaki orang bersenjata api.”
Yang lain-lain terdiam.
”Jangan-jangan ketika kita jaga malam, justru dengan lebih mudah diculik satu demi satu,” katanya melanjutkan.
Seminggu kemudian, dalam kantuk yang penat, menjelang subuh aku tertidur lelap. Baru saja beberapa menit terlelap, aku mendengar pintu digedor dan tiba-tiba menganga karena didobrak dari luar. Dalam sekejap beberapa sosok tubuh merangsek ke dalam membuat istriku tiba- tiba menjerit. Tamparan di mukanya membuatnya terhuyung dan diam dalam jerembab. Beberapa tangan yang kokoh menarik kedua tangan dan kakiku. Aku diseret dalam kegelapan malam. Mereka menggelandang tubuhku dan mengikat kedua tanganku ke belakang. Mulutku dibekap dengan sepotong kain. Dalam gigitan malam yang dingin menyengat, mereka melemparkan tubuhku ke dalam sebuah truk yang menunggu di tepi jalan. Aku merintih kesakitan. Kutahu ada orang lain di dalam truk itu karena kaki mereka bersentuhan dengan kakiku.
Sebelum kabut meninggalkan malam, truk berhenti di sebuah tempat. Kudengar suara-suara orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku diturunkan dari truk bersama sembilan orang lainnya yang tampaknya senasib denganku. Tidak seorang pun dari antara mereka yang kukenal.
Kami digiring ke sebuah rumah gedung tua yang tampak kokoh dari luar. Ada penjaga bersenjata di segala sudut. Di sebuah ruangan satu demi satu kami diempaskan ke lantai. Ikatan tangan kami dilepaskan satu demi satu. Nyeri rasa luka di bekas ikatan itu. Menjelang siang seorang berwajah garang duduk di belakang meja reyot, dan kami duduk di kursi rotan di hadapannya. Satu demi satu kami ditanyai: nama, keluarga, alamat, asal-usul, pekerjaan, sejak kapan masuk organisasi politik, siapa pemimpinnya, dan macam-macam jenis pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti.
Sore itu perut diisi dengan beberapa potong ubi rebus. Tengah malam, ketika perut masih keroncongan, namaku dipanggil dari kamar berukuran tiga kali empat meter yang dihuni dua belas orang. Aku berdiri dan menuju ke sebuah ruangan. Dari ruangan lain kudengar jeritan orang dipukul. Aku duduk dan tidak dapat menjawab pertanyaan interogator itu. Lalu ia tuduh aku masuk gerakan tutup mulut (GTM). Ia lalu berdiri di belakangku dan memegang dagu dan kepalaku, mencoba memutar leherku. ”Jawab! Atau kupatahkan lehermu!”
Aku diam saja. Kemudian ia melepaskan kedua tangannya, tapi menohok punggungku membuat aku jatuh pingsan. Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tengah-tengah kawan seselku. Mereka mengoles punggungku dengan minyak kelapa. Aku belum mampu memusatkan pikiran untuk mendengar apa yang dikatakan mereka. Jamahan tangan mereka sedikit melegakan rasa sakitku.
Sebulan kemudian aku mendengar secara sembunyi-sembunyi dari sesama tahanan bahwa hampir semua lelaki di dusunku sudah ”diangkat” dan kaum perempuan melarikan diri ke orang tua mereka masing-masing. Beberapa kawan seselku ”pergi” dan tidak pernah kembali, diganti dengan tahanan baru, sampai pada akhirnya aku sendiri pun dipanggil bersama beberapa orang yang dahulu ditangkap bersamaku.
Menurut pengawal yang melemparkan kami ke dalam truk, kami akan dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman, tenteram, pembebasan. Karena ia mengatakannya dengan senyuman dengan mata mengejek, yakinlah aku bahwa inilah hari akhir dalam kehidupanku. Wajah anak- anakku, istriku, melintas silih berganti di benakku. Tubuh-tubuh yang kurus bagai paku tipis yang karatan mungkinkah dibebaskan ke tempat yang nyaman dan tenteram? Aku tidak tahu dosa apa yang membuat aku harus mengalami derita seperti ini. Sampai bulan-bulan terakhir aku hendak di-”bebaskan” tidak ada pengakuan apa pun yang keluar dari mulutku. Pernah aku berpapasan dengan seorang interogator yang rasanya pernah kukenal dan memalingkan wajah daripadaku ketika sekilas bertatap mata. Diakah biang keladi dari derita lelaki dari dusunku? Ah, tidak berani aku berburuk sangka. Semua orang ingin mencari selamat sendiri.
Bayangan dalam benakku, anak-anak akan telantar, istriku dalam kesetiaannya harus banting tulang memberi makan mereka. Dan cap dalam keluarga, mereka termasuk turunan yang dianggap kutuk bagi bangsa ini.
Tiba-tiba hatiku menjerit. ”Tuhan, lindungilah mereka!”
Tendangan di pantatku menyadarkan aku. ”Ayo, naik! Naik! Naik!”
Truk menggelegar memecah kegelapan malam. Kami benar- benar menjadi warga kegelapan. Gelap dalam sel. Gelap dalam pertanyaan yang tak kunjung berjawab. Semuanya gelap gulita!
Berjam-jam kami yang ada di dalam truk diam dalam bahasa hati kami sendiri. Bahasa batin dengan kisah gelap. Karena telah terbiasa di dalam kegelapan malam dan siang, aku dapat menyaksikan celah antara kegelapan dan remang-remang malam. Truk berhenti di mulut sebuah jembatan yang besar dan panjang. Kami semua diturunkan dan berjalan satu demi satu menuju tengah jembatan, di sisi jembatan bagian tengah yang rusak penahannya.
Aku berjalan di barisan paling akhir dari lima belas orang. Orang yang berada di barisan depan disuruh berhenti di pinggir jembatan. Tiba-tiba sekelebat pedang yang terayun menebas lehernya. Ada lengkingan dan bunyi kepala ya berdebuk ke dalam sungai yang mengalir deras disusul gedebuk tubuh yang terempas ke dalam air. Selang beberapa menit suara yang sama bergenta, sampai giliranku pun tiba. Dalam kepergian malam, dalam sunyi air yang mengalir, dalam remang gelap, aku menyaksikan pedang yang berayun semakin melemah. Aku berdiri dan melihat pedang yang dientakkan. Dalam detik yang sama aku membungkuk dan terjun ke dalam sungai. Ikatan tangan yang telah kukendurkan dan ikatan tali di kaki yang merenggang membuat aku menyelam lebih mudah bergerak dalam kedalaman dan arus sungai. Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan sementara arus terus membawa aku hanyut. Di dalam alun arus, aku semakin menepi sampai aku mampu berpijak di dasar sungai dan berjalan sambil merangkak menyusuri batu-batu.
Kulepaskan ikatan tangan dengan susah-payah, kemudian tali dari kaki. Air yang dingin menambah perihnya goresan tali. Aku merangkak ke tepi sungai dan mencoba mendengarkan langkah kaki. Tidak ada. Di kejauhan ada deru kendaraan yang semakin lama semakin hilang.
Berjam-jam aku berjalan dalam keremangan gelap malam, menyusuri tepi sungai dengan keyakinan bahwa lambat atau cepat pasti di sekitar alur sungai ada kampung terpencil. Dengan pakaian yang basah-kuyup dan langkah yang goyah, aku berjalan sejauh-jauh jarak yang dapat kutempuh.
Matahari mulai muncul di celah gunung. Aku tidak tahu di daerah mana aku berada. Di tepi sungai ada pisang yang sedang berbuah, merunduk rendah. Buah yang matang tapi ketika kukunyah, banyak batunya. Pisang monyet. Aku menduga, bila monyet pun bisa makan buah pisang monyet, pastilah manusia pun bisa. Tidak jauh dari sana ada durian belanda. Aku memanjatnya, dan mengambil buah yang ranum. Aku berterima kasih kepada Tuhan bahwa bumi ini kaya dengan kemurahan-Nya. Kukeringkan pakaianku di atas batu dan mereguk air dari pinggir sungai, yang tergenang dan bening. Ada mata air di situ. Setelah kekuatanku pulih, aku berjalan dan berjalan, menyongsong matahari yang terbit.
Di kaki gunung, tepatnya sebuah lembah yang landai, aku menemukan sebuah gubuk. Kukira gubuk itu milik pemilik ladang di situ. Kuketuk pintunya. Seorang lelaki tua dan ibu yang sudah berumur membuka pintu. Dari wajah mereka kulihat rasa terkejut. Aku memperkenalkan diri dan memberitahukan tentang diriku yang sebenarnya, dan pelarianku. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk mengerti. Mereka mempersilakan aku sarapan pagi dengan pisang rebus.
Rasanya aku berminggu- minggu bersama mereka. Aku membantunya di ladang karena aku jauh lebih muda dari mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa berlama-lama dengan mereka. Setelah tubuhku pulih betul aku pamit dan mendaki gunung menuju ke tanah seberang. Kata orang tua itu, di seberang ada laut.
Bertahun-tahun aku menjadi kuli pelabuhan atau ikut nelayan pada malam hari. Siang hari aku tidur dan malam melaut bersama nelayan, atau kalau musim ombak, menjadi kuli pelabuhan bagi tongkang dan kapal yang merapat malam. Sesekali aku mencari tahu keberadaan istriku dari orang yang sebahasa denganku. Setelah berbulan-bulan, aku mendapat informasi mengenai alamat mereka, dan mengirimkan upah yang kuperoleh. Kiriman berikutnya tidak dapat kulakukan karena pada suatu hari aku berpapasan dengan seorang bekas interogatorku. Ia terkejut melihatku. Aku pun terkejut melihatnya. Aku cepat-cepat menghilang. Pergi ke laut, masuk tongkang yang hendak berlayar berbulan-bulan di laut, menjual ikan ke seberang.
Malam-malam berbintang, aku menghitungnya. Hari-hari pelarianku yang tidak kutahu kapan akan berakhir.
Sepuluh tahun? Dari beberapa pelabuhan, kukirim upahku, kepada anak-anakku. Tanpa alamat, karena aku bersama bintang di laut dengan pelaut yang tidak peduli pusaran politik. Mereka hanya peduli pusaran arus laut.
Alam keras membuat mereka hidup. Dan di sanalah aku merajut nasibku juga.
Sampai berpuluh tahun kemudian, iklim politik pun berubah, sekalipun laut tetap bergelora! Laut mengajariku untuk tabah.

Pemetik Air Mata


dengan 18 komentar
 
 
 
 
 
 
45 suara


Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.
***
Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.
Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.
”Itu bohong, sayang…”
”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”
Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita,
”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
***
Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.
Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.
Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.

Lelaki yang Membelah Bulan


dengan 57 komentar
 
 
 
 
 
 
28 suara


Aku menemukannya. Dalam semak-semak dengan sejuta bisu dalam matanya. Aku tidak tahu apakah dia mengenalku sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi kami jeda dalam diam yang berkepanjangan. Separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu.
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku.
”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.”
Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya.
Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian.
Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya.
”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh.
”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.”
Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku.
Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir.
Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan.
Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali.
”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.”
Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang.
Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.”
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi.
”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya.
Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?”
Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh.
”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?”
”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.”
”Sekarang?”
”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.”
Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya.
Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang.
”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku.
”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.”
Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar.
”Mengapa kamu datang?”
Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh.
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.”
Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta.
”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.”
Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam.
”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya.
”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.”
Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah.
Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.”

Ketika Pohon Itu Masih Mekar


dengan 19 komentar
 
 
 
 
 
 
54 suara


Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang tumbuh di halaman lapang.
Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras.
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lama.
”Eh, kau sudah datang,” kata perempuan itu sambil bangkit dengan tergopoh-gopoh dan memegang tanganku.
”Iya, Ma. Mama sehat kan?”
Badannya yang bungkuk berusaha ditegakkannya, seakan berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Tatapan matanya yang tajam menyaratkan penolakan yang gigih terhadap satu fakta: bahwa kini akulah—dan kedelapan saudaraku yang lain—yang kini ganti wajib merawat dan mengunjunginya.
Pertanyaanku yang tadi tidak dijawab, dan ia segera membalikkan tubuhnya. Langkahnya terhenti di depan pohon cincau tua. Ia tertegun.
Baru kusadari betapa pohon itu terlihat jauh lebih kurus dan gundul daripada sebelumnya. Apa tahun lalu sudah seperti ini? Dua tahun lalu? Tiga? Walaupun setiap tahun kemari, kuakui aku tidak pernah memerhatikannya secara khusus, seperti saat ini.
Tapi kenapa?
Apa jangan-jangan Mama telah mencabut terlalu banyak cincau untuk dibuat jeli? Tapi itu tidak mungkin, sebab tumbuhan itu telah bertahan selama ini. Pucuk-pucuk itu telah dicabuti dan diremas-remas dan diramu menjadi eliksir kehidupan, namun selalu saja tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Terkadang bahkan harus ditebangi supaya tidak melintang pagar ke kebun tetangga. Butuh lebih dari sekadar penggundulan terencana untuk mematikan tumbuhan ini.
”Ma, pohonnya makin kurus kok.”
”Iya. Mungkin karena sering dicabuti orang kampung. Biasa, buat jualan.”
”Lho, kenapa Mama tak larang mereka? Abang Sardi saja biasa beli dari Mama sekarung sepuluh ribu.”
”Itu kan dulu. Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya. Lagi pula, pohon cincau kita ini satu-satunya di tanah ini….”
Mama terbengong sekilas. Mendadak dia berjalan mendekati pohon, berjinjit, dan menarik sehelai daun dari tangkainya. Ia pandangi daun itu lekat- lekat, seperti sedang berusaha menemukan suatu cacat pada permukaannya. Kemudian wajahnya menerawang ke atas, memandangi pohon itu dari pucuk tertinggi hingga ke akar.
Ia membuat keputusan. Ia jatuhkan daun itu ke tanah. Dan mendesah.
Sejurus perasaan takut menghinggapi diriku. Kupegang dahan terbesar pohon itu, bertekad untuk menemukan ciri apa pun yang tidak dimiliki tanaman yang hendak mati.
Ketika kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak. Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang dan mulai terurai.
Kulepaskan cengkeramanku cepat- cepat, dan suatu perasaan sayang dan keterikatan kuat yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi benakku. Aku tidak pernah tahu bahwa ancaman hilangnya suatu hal berharga yang belum pernah kusadari bisa begitu menyakitkan.
”Kenapa? Kamu juga rindu sama pohon cincau ini?” tanya Mama dengan tepat, seakan kita baru saja memikirkan hal yang sama. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari pohon.
”Ya, Ma. Sayang sekali, padahal dulu batang-batang ini… begitu kuat, tidak bakalan putus sekalipun dinaiki beramai-ramai. Mama ingat tidak? Aku dan si Pin sering memanjat pohon ini….”
Kuhentikan ujaranku. Tanpa sadar, aku telah menyebut nama kakak keduaku yang telah kabur ke negeri seberang, tiga belas tahun yang lalu. Waktu itu, ia hanya meninggalkan rumah yang hangus dan sebuah mobil sedan yang ringsek. Mama sangat merindukannya dan memohonnya untuk pulang, namun ia bersumpah tidak akan pernah kembali ke negeri ini: istrinya telah menjadi mayat legam. Korban kebencian buta yang sulit padam.
Ujaranku pasti telah membuka kembali luka lamanya. Herannya, wajah Mama tidak berubah. Ia bahkan seperti mengabaikan ucapanku barusan.
”Tapi… syukurlah pohon ini masih ada di sini ya, Ma. Jangan sampai roboh nih, kenang-kenangan zaman dulu,” kataku mencoba memecah kesunyian.
Lagi-lagi tanpa terkesan mendengarkan komentarku, Mama berkata, ”Ayo masuk, makan cincau dulu. Mama sudah bikin buat kamu semua. Kamu suka sekali cincau kan.”
Ah, cincau itu lagi. Minuman manis yang menyegarkan, lagi sarat dengan khasiat ajaib yang sulit dijelaskan. Telah bertahun-tahun makanan hijau itu menyejukkan kerongkongan kami yang kering, mendinginkan tubuh yang panas dan kelelahan, memulihkan kerinduan yang tertahan.
Dan pohon itu adalah sumbernya. Daun-daunnya yang tumbuh pada batang kelabu yang pernah kokoh itu telah memenuhi kebutuhan kami, anak-anak Mama, selama masa kecil yang berlalu dengan cepat. Mamalah yang dulu seminggu sekali menggerakkan jari-jarinya di sela rimbunnya daun cincau, memilih daun yang terbaik untuk konsumsi anak-anaknya, untuk kemudian dilumatkan dan diperas sarinya. Dengan sentuhan tangannya yang terampil, cincau alami pun tersajilah; tidak, bukan cincau modern ala kota yang mulus lembut nan kenyal—yang kabarnya telah dicampur sejenis bedak. Cincau Mama adalah struktur kasar yang renyah dengan carikan kecil daun-daun hijau terlebur menjadi satu. Tanda perjuangan dan ketetapan hati yang luar biasa. Buah tangan yang merengkuh asa.
Bagiku, sajian itu telah melebar makna, menyatu dengan pribadi Mama. Makanan bagi tubuh dan bagi jiwa.
”Ma, Ateng sudah datang belum?” kataku merujuk pada adik lelakiku yang biasanya datang sehari sebelum hari raya.
Sejurus, Mama tidak menjawab. Tangannya masih sibuk menuangkan potongan-potongan cincau ke dalam mangkuk. Kini ia menuang gula cair hasil masak sendiri. Sempurna. Ia letakkan mangkuk itu di meja makan lebar yang kini kosong.
”Belum,” jawabnya, ”Mungkin dia tidak datang tahun ini. Tahu sendiri, dia lagi terbelit masalah sama pengadilan. Urusan begitu, memang pasti berabe…. Dia sudah telepon Mama tadi pagi, kasih ucapan tahun baru.”
Jadi begitu. Tahun ini berkurang satu kunjungan lagi.
Aku mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu. Luar biasa, cita rasanya tidak pernah berubah. Benar- benar bukan sajian biasa, ibarat memperbarui ikatan ragaku dengan kehidupan sejati yang mengisi segenap nadi dan sendi-sendi tubuh….
Tiba-tiba, Mama berlalu keluar lagi. Kuletakkan mangkuk itu dengan cepat ke atas meja, hingga menumpahkan cairan keruh pada permukaannya yang berdebu. Aku tahu aku harus mengikutinya.
”Hai! Apa yang kalian lakukan?” teriak Mama sambil menyeret badannya yang tertatih-tatih. Ternyata ia masih belum kehilangan teriakan melengkingnya yang tersohor itu.
Sesampainya di luar, kulihat tiga orang bocah kecil sedang berusaha memanjat dahan pohon cincau tua itu. Salah satunya, yang bertampang paling bergajulan, bahkan sudah menggapai puncak pohon yang kini tingginya tidak sampai tiga meter. Dengan santainya ia mencerabuti daun-daun hijau ke bawah, bersiap untuk ditampung kawannya yang bertengger dengan asyik di sebuah sulur sambil menenteng sebuah karung beras.
Bocah teratas lantas melompat dengan gesit ke tanah, mematahkan sebuah dahan besar hingga jatuh ke tanah. Daun-daun rontok bertebaran di antara debu tanah yang miskin air. Ia mulai berteriak-teriak memberi perintah kepada rekan-rekan komplotannya dengan bahasa daerah yang tidak pernah kumengerti. Mereka berlari melompati pagar rendah sambil menenteng karung hasil rampasan mereka hari ini.
Belum tersadar dari kekagetanku, tiba-tiba kudapati Mama terhuyung sesaat. Ia segera merambet lenganku untuk mencari tumpuan. Aku membimbing Mama kembali ke kursi anyamnya.
”Akh, tak kusangka. Pohon itu makin habis!” seru Mama sambil menepuk- nepukkan tangannya ke kepalanya.
”Mama, sudahlah. Sebentaran pasti tumbuh lagi…. Lagi pula, anak-anak Mama kan sudah jarang di sini, jadinya kan tidak perlu sering-sering bikin cincau.”
”Ya! Kalian memang sudah jarang di sini. si Pin sudah kabur, si Mey sudah dibawa lari lelaki hidung belang itu, dan si Teng sekarang kena masalah. Mama bahkan tidak tahu kenapa sisanya belum pada datang!” semburnya kepadaku.
Binar di matanya tampak redup dan tangan-tangannya yang kasar karena kerja keras seumur hidup mulai bergetar. Tampaknya, Mama terlalu menganggap serius masalah pohon ini. Bagaimanapun, aku tetap berjongkok di samping kursi, menemani Mama hingga tubuhnya pulih kembali. Namun aku tahu, saat aku menatap matanya sekali-kali sambil memegang tangannya dan membimbingnya menuju ke dalam rumah, bahwa sesuatu dari dalam dirinya telah hilang, tercerabut selamanya.
***
Semenjak itu, pikiranku nyaris tidak pernah kembali ke rumah tua dan pohon cincau setengah rubuh yang tumbuh di halamannya. Tidak, ketika urusan pekerjaan, komitmen-komitmen, dan keluarga mengambil alih seluruh jiwa ragaku—siapa pula yang peduli pada sebatang pohon di kampung halaman, yang kini menjadi serpihan masa lalu yang memudar perlahan, laksana jiwa hampa yang tanpa sadar terseret dalam kenihilan?
Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa pohon cincau itu telah mati dan roboh untuk selamanya. Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa Mama, dalam usahanya untuk menyelamatkan tiap daun terakhir dari pohon cincau, telah merengkuh batang pohon dan memanjat hingga dahannya yang tertinggi.
Tidak juga, sebelum akhirnya kudengar bahwa dahan besar itu pun patah, dan Mama terjatuh ke tanah. Kepalanya terantuk batu yang menonjol dari dalam tanah gersang, dan mengakhiri nyawanya.

Minggu, 16 September 2012

Mata Sayu Itu Bercerita


dengan 59 komentar
 
 
 
 
 
 
51 suara


Mata sayu itu banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi berbincang-bincang bak kawan lama.
Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu.
Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.
Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang.
Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.
Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.
***
Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.
Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang.
Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu.
Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?
Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.
Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.
Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.
Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.
Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.
Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.
Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi.
Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.
***
Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku.
Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.
Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi.
Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu. (*)

Janji Kaci


dengan 42 komentar
 
 
 
 
 
 
17 suara


Jemputlah aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas, malam Sabtu Pahing nanti.
Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.
***
Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu pondokanku.
Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada.
Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki yang datang padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya.
Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku. Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang tetap menganggapku primadona Pesanggrahan.
Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita?
Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Sedikit orang mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.
***
Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, kamu akan datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.
“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Mak Kus. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama sepertiku, tak seperti Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku.
Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku.
“Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku denganmu.
“Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.”
Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di meja, aku berpamitan.
“Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?”
Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan wajahku merona, entah kenapa?
Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh. Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.
***
Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam seharga Rp 250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang harus kucicil dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin. Aku lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan mencium pipi Mama Tien. Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-empat orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan membawa upeti esok pagi.
Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama, kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku dengan sedan 80-an yang aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko Pak Sokeh untuk menjawil Taryo. Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat. Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, kita bisa duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan seseruputan angsle panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya meremas jariku. Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku.
Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.
Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah kupesan dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur disapu angin malam. Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita, lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda dengan yang asli.
Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut kena penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi suntik ke Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-istri yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku bisa tinggal di sini saja. tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja sudah cukup.
Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.
***
Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza.
Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu.
***
Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk pulang ke Gang Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari tersengal, kusulut rokok terakhirku.
Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan, berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.
”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis.
”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki.
Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.
Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.
Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.

Kunang-kunang dalam Bir


dengan 57 komentar
 
 
 
 
 
 
51 suara


Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong.