blank

hhh"/> hhh"/>
rakiz_blank. Diberdayakan oleh Blogger.

diantaramoe

My Slideshow: Diantaramoe’s trip to Bali, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bali slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

claver's

Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com
Read more: http://epg-studio.blogspot.com/2010/03/mengganti-penampilan-kursor.html#ixzz1zkrh3e3n
RSS

Minggu, 29 Juli 2012

tak coba blng seandaiy

tak coba blng seandaiy

oleh Rakiz Blank pada 23 Oktober 2011 pukul 19:00 ·
seandainya aku dapat menghampirimu
mungkin saat ini aku sudah berada di dekat mu
seandainya goresan pena ini dapat menghapus rinduku
mungkin setiap saat ku rangkai kalimat cintaku
... ...andai desiran angin dapat memahami ku
mungkin akan membawa ku kepangkuan mu
andai waktu dpt terulang untuk ku..menemui mu akan ku katakan yank aku sangat merindukanmu 



  
· · · Bagikan · Hapus

Sabtu, 28 Juli 2012

terima kasih untuk anda,,,,,,,,,para pembaca

  sblmy aq blm sempat ucapkan untuk para pembaca my blog  http://loverakiz.blogspot.com/
smua ini hnyalah ungkapan......http://loverakiz.blogspot.com/

smoga dibulan yg penuh ampunan n rahmat ini...para pembaca bs lbh khusyuk ibadahy....


     terima kasih untuk anda,,,,,,,,,


   ttd:::::rakizblank

Mengenalmu 2X24 Jam, Kuterima Lamaranmu Sayang



Enam bulan dua puluh empat hari telah berlalu di tahun ini.  Itu artinya tak ada perubahan dalam kehidupanku selama enam bulan dua puluh empat hari ini. Aku masih saja blangsak di awal tahun, dana yang kusiapkan untuk mengawali tahun seolah tak pernah cukup sehingga aku harus tambal sulam untuk memenuhi kebutuhanku selama bulan-bulan ini.
Entah karma mana yang mengiringiku setiap tahun sehingga aku harus terperosok di lubang yang sama. Lagi, lagi dan lagi.
Walaupun seiring waktu semua itu akan berlalu, namun tetap saja hal ini menguras pikiran dan perasaanku.
Tahun ini adalah tahun kelima aku menjadi single parents. Lima tahun lalu dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, aku memutuskan untuk berpisah dari cinta pertamaku, belahan jiwaku, dan sandaran hidupku.
Aku memutuskan berpisah ketika mengetahui rumah tangga yang kubangun tidak lagi dipenuhi dengan cinta yang utuh. Pengkhianatan, perselingkuhan menjadi menu sehari-hari kehidupan perkawinanku. Selama lima belas tahun aku mencoba bertahan, namun ketika pengkhianatan sudah dilakukan secara terang-terangan, aku tak bisa tahan lagi.
Kami bertarung setiap saat. Rumah yang dulu teduh kini berubah jadi neraka. Aku terluka, aku marah meski pada saat yang sama aku juga menyadari bahwa keberadaan cinta tak pernah bisa dipaksakan. Setiap orang bisa berhenti mencintai dan lalu memulai lagi cinta yang baru dengan orang lain lagi. Kesadaran itulah yang akhirnya menguatkanku untuk berpisah dan mengakhiri perkawinan ini.
Lalu dengan hanya  membawa sisa-sisa harga diriku yang telah hancur aku melangkah, melanjutkan hidup sendiri. Aku mencoba tegar, meski sesungguhnya tidak. Pelan-pelan aku mencoba stabilkan kehidupanku.
Namun kehidupan perekonomianku tak pernah lagi stabil. Dengan pendapatan yang sama dari tahun ke tahun aku harus membiayai kebutuhan keluargaku yang terus meningkat. Aku belum mempunyai akses untuk memperoleh tambahan penghasilan, meskipun aku mencoba terus mencari. Aku juga tidak bisa mengharapkan bantuan dari mantan suamiku karena ia telah mempunyai keluarga baru.
Kehidupan cintaku juga seperti mati suri, tak ada perkembangan yang berarti. Perasaanku yang rapuh membuat setiap hubungan yang kubangun tak pernah maju. Hanya karena satu kesalahan kecil, hubungan yang terjalin baik tiba-tiba saja bisa menjadi sesuatu yang memuakkan. Dan itu tak pernah dapat kuhindari. Aku jadi membenci pasanganku, lalu kemudian membenci diriku sendiri. Dan hubungan pun berakhir.
Satu hal lagi, otakku sudah terpola selama belasan tahun dengan perhatian menyeluruh dari mantan suamiku sebelumnya. Dengan demikian setiap kali aku membangun satu hubungan cinta, tanpa kusadari aku mencari kesamaan atau keunggulan dan membandingkan antara mantan suamiku dengan pasangan baruku. Dan ketika aku menemukan sesuatu yang tidak sesuai atau lebih buruk maka perasaan tertarikku pada pasanganku mulai berkurang dan akhirnya hilang sama sekali.
Pagi ini aku mulai menghitung, seberapa banyak yang telah kulakukan untuk bisa membahagiakan aku. Mengapa aku merasa terjebak dalam situasi ini.
Aku sedang antri untuk melaporkan kartu ATMku  yang tiba-tiba raib di sebuah Bank Swasta. Saat itu aku  sendirian duduk si sebuah sofa yang disediakan. Aku memperoleh no. 13, dan kulihat di layar monitor bahwa petugas sedang melayani pelanggan no. 11. Para pengantri bertambah banyak. Di sofa tempatku duduk, seorang pria setengah baya menanti antrian, ia terlihat tak sabar. Diketuk-ketukkannya jarinya di pegangan sofa. Berkali-kali aku melihatnya menarik nafas panjang lalu melepaskannya. Wajah kerasnya kelihatan begitu menarik. Aku memperhatikannya lebih seksama.
Saat aku memperhatikannya, tiba-tiba  saja ia bertanya “Nomor berapa Mbak?” Aku terkejut dan sempat tertegun sebentar karena tak mengira akan ditanya. Semoga saja ia tak menyadari bahwa aku sedang menilainya. “tiga belas.”jawabku. “Nomorku 21, jika Mbak tak keberatan, bolehkah saya bertukar nomor. Saya harus mempresentasikan pekerjaan saya 30 menit lagi, sementara antrian ini masih begitu panjang. Maukah Mbak menolong saya, plis…”Jelasnya.
“Mengapa Anda datang sekarang jika tak mempunyai waktu yang cukup?” tanyaku dengan suara sedikit ketus. “Semula aku kira waktuku cukup, ternyata tidak, tapi tanggung juga jika tidak berhasil menyelaesaikannya. Jika Mbak menolongku, aku pasti selamat.”
Aku memandangi matanya, kami saling bertatapan. “Tiga belas” teriak petugas bank. Aku segera memberikan nomorku kepada pria bermata teduh itu.  “Thanks” Jawabnya sambil bergegas menuju counter.
Mataku tak lepas darinya, ia kelihatan begitu matang. Bahu dan dadanya yang bidang seolah mengundang para wanita untuk berlabuh  dan menyandarkan hidupnya. Aku masih memandanginya saat ia selesai dengan urusannya. Ia mendatangiku kembali, kemudian menyalamiku. “Aku Abe, terima kasih telah menjadi juru selamatku. Ini kartu namaku, jika mbak tak keberatan silakan hubungi saya. Sampai jumpa.”Katanya.
Kupandangi kartu nama ini di genggamanku. Kubaca dan kulavalkan perlahan. Pria yang menarik pikirku. Kusimpan kartu nama itu di dalam dompetku, meski aku tak punya niatan sama sekali untuk menghubunginya. Aku pun duduk manis sambil menunggu giliranku berikutnya.
Pesta hari ini begitu meriah. Berbeda dengan resepsi pernikahan masyarakat Indonesia, resepsi pernikahan masyarakat keturunan India banyak diisi dengan berbagai hiburan yang mewakili budaya mereka. Mulai dari upacara mengelilingi api bagi kedua mempelai hingga tarian dan nyanyian dipertunjukkan di resepsi ini. Seluruh Undangan hadir dengan busana khas India yang dilengkapi dengan aneka payet dan sekuen. Selendang lebar dab sari berwarna-warni melambai di bahu-bahu telanjang para wanita. Para pria tampil dengan tuxedo ataupun pakaian tradisoinal India seperti yang biasa dipakai Shahrukh Khan.
Tak ada manusia jelek saat itu. Semua terlihat bagus dan mewah. Tak ada antrian panjang di counter-counter makanan. Makanan dan ragamnya begitu berlimpah dan tampaknya masyarakat India dari kalangan ini tidak terfokus pada makanan saat berpesta.
Sendirian aku memasuki Ballroom sebuah hotel mewah. Seusai mengisi buku tamu, aku langsung masuk ke dalam area pesta. Dalam pesta pernikahan India, undangan tidak harus memberikan amplop kepada mempelai, seperti tradisi dalam resepsi pernikahan di Indonesia. Bahkan buku tamu pun tidak selalu ada. Jadi kehadiran kitalah yang paling penting.  Aku memandang ke depan ke tempat upacara pernikahan sedang berlangsung. Aku berjalan perlahan, beberapa pasang mata di kiri kananku menatapku tajam. Di tempat seperti ini aku selalu menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena cantik, namun karena aku memang berbeda dengan mereka.  Meski aku sama-sama mengenakan pakaian tradisional saree, namun aku bukan keturunan India. Yang belum mengenalku biasanya heran melihat keluwesanku dalam mengenakan saree sehingga aku selalu menjadi pusat perhatian di situasi seperti itu. Dan itu selalu saja terjadi, dan anehnya aku selalu menikmati.
Aku bertemu dengan kenalan-kenalanku setelah terlebih dulu memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua pasang orang tua mereka yang salah satunya merupakan bosku.
Aku sedang memilih-milih aneka salad saat pria di sebelahku menyapaku “Hai, kita jumpa lagi kan. Perasaanku bilang aku pasti bisa bertemu lagi denganmu suatu hari, dan aku benar. Senang berjumpa lagi” sapanya sambil mengulurkan tangannya.”Apa kabar dewi penyelamatku?” tanyanya sambil tertawa. Tawanya benar-benar meluluhkan hati. “Baik jawabku, sukses presentasinya?” tanyaku sambil tersenyum. “Ya, berkat kamu dewi penyelamatku” jawabnya.
“Kau benar-benar seperti dewi yang baru saja turun dari khayangan, saat kau berjalan sendiri memasuki ruang ini, semua mata seolah tersihir ke arahmu. Sarimu melambai, rambutmu tertiup lembut, aku belum pernah melihat wanita seanggun  ini . Sari biru putihmu benar-benar membungkusmu dengan sempurna.” , Kau benar-benar mengalahkan keanggunan wanita India.” Puji pria itu seolah tanpa akhir. Meski orang lain juga memujiku, namun pujian dari Abe benar-benar membuatku tersipu.
“Hei, mana partnermu?” Aku bertanya karena melihat Abe sendirian saat menyapaku. “Ah, seperti kamu aku juga sendirian.”
Akhirnya kami bergabung, aku tak mengira Abe banyak mengenal para undangan lainnya sebanyak aku mengenal mereka. Beberapa undangan yang baru tiba mengira aku pasangan Abe.  Menurut mereka kami terlihat kompak dan romantis dan itu benar-benar membingungkan kami.
Ini adalah pertemuan keduaku dengan Abe, namun aku sudah merasa nyaman berada di sampingnya sepanjang pesta itu. Kenyamananku itulah yang mungkin terlihat oleh orang lain sehingga kesannya jadi romantis. Abe menjelaskan kepadaku sekilas bahwa saat ini ia sedang tak menjalin hubungan dengan siapapun. Istrinya telah meninggal dua tahun yang lalu karena tumor di otaknya dan sejak itu ia belum lagi ingin menjalin hubungan asmara apalagi sampai harus terikat. Kini ia membesarkan seorang putri berusia enam tahun.
Pesta berlangsung hingga pukul 2 pagi, tepat tengah malam tadi Abe memintaku untuk memberi tahu sopir kantorku untuk pulang karena Abe akan mengantarku pulang. Jadi ketika pesta usai aku menunggu Abe di lobby. Aku melambai pada beberapa kenalanku yang kebetulan lewat. Beberapa dari mereka menawarkan tumpangan yang dengan halus kutolak.
Abe tiba di lobby sepuluh menit kemudian. Tubuh tegapnya keluar kemudian memutari kendaraannya dan membukakan pintu penumpang untukku. Abe membantuku menaiki kendaraannya karena ternyata sulit menaiki kendaraan itu dengan mengenakan sari.
Abe mengendarai kendaraannya pelan. Sepanjang perjalanan ia begitu tenang padahal jalan begitu sepi. Aku menghargainya untuk itu. Aku tak pernah suka dengan pria yang mengendarai kendaraannya dengan srudak- sruduk, berzigzag ataupun menyalip-nyalip hingga membahayakan orang lain. Abe tidak seperti itu tampaknya. Abe mengendarai kendaraannya dengan mantap dan stabil.
“Apakah kau selalu hadir di resepsi seperti ini?” Tanya Abe. “Ya, aku menemukan sensasi di acara-acara seperti ini” jawabku. “Hai, sensasi, apa maksudmu Dewi?”sahut Abe. Abe berkeras memanggilku Dewi, meski aku telah memberitahu namaku. Menurutnya aku benar-benar seorang Dewi di matanya. “Acara-acara ini selalu unik. Aku harus mempersiapkannya dan perlu waktu lama. Aku harus tampil sama cantiknya dengan mereka. Aku bebas menggali kecantikanku tanpa harus kelihatan berlebihan. Coba kamu bayangkan jika aku mengenakan gaya ini di pesta-pesta Indonesia, pasti aneh dan terkesan berlebihan kan? Ada sensasi yang nikmat saat semua orang memandangmu dan terkagum-kagum.” Paparku. “Wow, kau suka jadi pusat perhatian haa?” sahut Abe diiringi tawanya. “Apa salahnya?”Jawabku sambil tertawa juga. Kami saling berbicara selama sisa perjalanan menuju kediamanku.
Hari menjelang pukul tiga pagi, sebentar lagi fajar menyingsing. Anehnya aku belum merasa mengantuk padahal biasanya sehabis pesta aku langsung tertidur sehingga sopir kantorku akan membangunkanku sesampainya aku di rumah. Namun kali ini Abe tak perlu membangunkanku. Aku masih terjaga saat Abe membukakan pintu mobilnya. Kali ini Abe membantuku turun dari mobilnya. Abe menggenggam tanganku kemudian mengangkatnya dan menciumnya. Jantungku berdebar seolah aku adalah gadis belasan tahun yang baru pertama kali bertemu pria pujaaannya. Abe kembali memasuki mobilnya, “Sampai jumpa!” ucapnya.
Sambil membuka pintu rumahku anganku melayang. Suara Abe saat mengucapkan salam perpisahan masih terekam jelas dalam otakku. Sampai jumpa, itulah ucapan Abe di dua kali perpisahan kami. Dengan kata itu seolah Abe ingin menegaskan bahwa ia berharap akan ada lagi pertemuan.
Kumasuki kamarku. Kulepaskan seluruh pakaian dan perhiasan dan meletakkannya di lemari khusus. Karena aku sering diundang di acara-acara masyarakat India, maka aku mempunyai banyak koleksi pakaian tradisional India seperti saree lengkap dengan pernak-pernik perhiasannya. Aku membelinya saat aku mendampingi bosku melakukan perjalanan dinas ke India.
Setelah berganti pakaian aku keluar kamar memeriksa keadaan anak-anakku di kamarnya masing-masing. Memperbaiki posisi selimut yang tak menutupi tubuh, mengangkat bantal yang terjatuh dari tempat tidur, dan mematikan televisi yang masih menyala dan mencium kening mereka satu per satu.
Kupandangi bungsuku, begitu lembut. Saat memandanginya, adakalanya aku merasa berdosa telah memisahkan anakku yang ini dengan papanya. Kupikir ia masih terlalu kecil untuk dapat memahami kondisi ini. Hingga saat ini ia tak mempunyai figur seorang ayah. Sejak berpisah, papanya tak pernah mengunjunginya lagi. Aku sendiri tak pernah mengira akan seperti ini. Semula kukira Hubungan ayah anak tak akan pernah terputus, namun ternyata setelah pengadilan mengesahkan perceraian kami, hubungan itu benar-benar terputus. Mantan suamiku seperti menghilang dari tanggung jawabnya. Aku hanya mendengar sekilas bahwa ia telah membangun keluarga baru.
Aku berjalan keluar dari kamar si bungsu sambil berjanji bahwa aku tak akan pernah mengecewakan anak-anakku terutama si bungsu. Segala keperluannya akan kupenuhi. Aku akan mencurahkan seluruh perhatianku untuk mereka. Aku akan mencoba menutupi ketidaklengkapan ini.
Kurebahkan tubuhku di tempat tidurku. Aku masih punya waktu satu setengah jam untuk tertidur. Sebentar lagi subuh aku harus kembali bersiap-siap untuk pergi bekerja. Kupikir-pikir inilah kelemahan acara-acara masyarakat India. Mereka selalu menyelenggarakan pesta pada hari baik mereka yang jarang sekali jatuh pada malam libur. Padahal acara tersebut berlangsung sampai pagi. Buat masyarakat India umumnya itu tak jadi soal karena jam kerja mereka dimulai pada waktu menjelang siang, namun bagi orang seperti aku itu lumayan mengusik pola hidupku karena keesokan paginya aku masih harus bekerja seperti biasa.
Jadi, pagi ini dengan mata yang masih sedikit mengantuk aku tiba di kantorku. Agak lega sedikit karena pimpinanku hari ini masih cuti setelah melaksanakan hajatnya semalam. Duduk di kursiku, menyalakan computer. Membuka agenda, menjadwal seluruh pertemuan untuk esok dan mengkonfirmasi seluruh jadwal ke perusahaan rekanan.
Seluruh pekerjaanku selesai tepat menjelang jam makan siang. Aku baru saja meluruskan pinggangku ketika aiphone di mejaku berdering. Kulihat kode yang tertera di layar monitor, front office. Kutekan tombolnya, terdengar sebuah suara”Bu, ada tamu yang menjemput Ibu.” Katanya.”Menjemput saya, saya tak punya janji Sofie.” Jawabku. Samar aku mendengar Sofie bicara dengan tamu tersebut. “Maaf Ibu tapi tamu ini berkeras bilang sudah ada janji untuk makan siang dengan Ibu, namanya Pak Abe”jelasnya.
Aku terperangah tak mengira dapat bertemu lagi dengan Abe secepat ini. Bayangan pria inilah yang menemaniku hingga aku jatuh tertidur pagi tadi. “Oke, baik minta beliau tunggu sebentar. Saya akan segera turun” kataku. Setelah sedikit merapikan diri di toilet, aku pun turun. Aku benar-benar tak mengira Abe akan datang ke kantorku. Dengan dada berdebar aku menjumpai Abe.
Abe menghampiriku “Belum makan kan?”tanyanya sambil tangannya meraih tanganku. Ia membimbingku menuju mobilnya. Abe mengenakan kemeja putih bergaris biru samar dengan dasi biru bermotif putih. Celananya biru gelap dengan sepatu hitam mengkilat. Ia tampak begitu memikat sebagai seorang eksekutif muda.
“Aku atau kau yang pilih tempatnya?” tanyanya. “Kau saja yang pilih, aku masih shock dengan pertemuan ini.” Jawabku sambil tersenyum. Abe membawaku menuju Hotel Borobudur. Di sana kami menuju Ramayana Restaurant.  Aku tak tahu mengapa Abe memilih restaurant ini. Seolah Abe tahu tempat ini adalah tempat favoritku. Biasanya aku kemari bersama teman-teman wanitaku dan menu favorit kami adalah sop buntut. Kami disambut pelayan yang mengenakan batik dan ditempatkan di sudut ruang.
“ini adalah tempat favoritku.” Jelasku pada Abe “Kita bisa memperhatikan orang yang keluar masuk resto ini tanpa ia tahu bahwa kita memperhatikannya. Dan kau tahu, kami selalu membuat jokes atas penampilan mereka. Dari masyarakat umum, pengusaha, bintang film semua kami komentar rasanya menyenangkan sekali. Sangat menghibur” Jawabku sambil tertawa.
“Bagaimana bisa kita mempunyai tempat favorit yang sama ya?”komentar Abe tak percaya. Pramusaji memberikan buku menu dan bertanya apakah kami akan memesan menu saat ini. Aku memesan Sop Buntut goreng, sedangkan Abe memesan Tomyam Udang dan Satu teapot Teh panas untuk kami berdua.
Setelah pesanan kami datang, kami segera menyantapnya. Kami menghabiskan santapan kami dalam waktu 20 menit. Aku menutup makan siangku dengan menikmati seiris cake coklat dan secangkir kopi sedangkan Abe hanya minum secangkir capucino. Setelah menyelesaikan pembayaran kami beranjak pergi. Abe mengantarku kembali ke kantor.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 ketika aku tiba kembali di ruang kantorku. Setumpuk surat yang baru tiba ada di atas mejaku. Aku menyortir surat-surat tersebut berdasarkan peruntukan dan kepentingannya. Aku duduk dan mulai mengamati surat-surat tersebut. Memisahkan antara surat pribadi bos dengan surat-surat perusahaan. Kemudian aku akan mulai membalas surat-surat yang perlu dibalas.
Pukul lima pun tiba. Aku segera menghentikan pekerjaanku. Abe meneleponku, menanyakan apakah aku sudah selesai dengan pekerjaanku.  Aku bergegas turun.  Abe telah menunggu di lobby, ia segera membukakan pintu mobil dan membantu menutupnya.
Abe membawaku ke arah pantai, matahari begitu indah.  Pelan-pelan tenggelam meninggalkan siluet di rupa kami.  ”Maukah kau menikah denganku?” tanya Abe
Aku terdiam.  Dalam diamku  tiba-tiba saja melintas sebuah pernikahan yang berakhir kacau balau.  Pernikahan yang berisi air mata karena dikhianati.  Pernikahan yang selama ini telah menghancurkan seluruh cita-citaku.
Abe menatapku tajam”kita layak mencoba, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti jika kita tak mencoba.” papar Abe
Aku masih terdiam, terbayang wajah anak-anakku yang kucintai.  Wajah-wajah itu menyemangati aku.  Kupandangi wajah Abe, kesungguhan Abe.  Yang inni nampaknya benar-benar berbeda.
“Ya, aku mau.” jawabku
Kuterima lamaran Abe setelah berkenalan hanya selama dua hari. Aku benar-benar tak peduli karena sebelumnya aku pun gagal meski telah mengenal mantanku selama enam tahun. Yang paling menyakitkan telah bisa aku lalui.  Jadi, siapa takut…

cerpen;;;Ramadan Gelisah



“Kita istirahat saja dulu di sini!” pintamu.
Aku yang berjalan tergesa berhenti mendadak. Menoleh ke arahmu. Pandanganku jelas menikammu. Kau tampak kikuk. Namun bukan dirimu kalau tak tersenyum. Peluhmu kau lap dengan telapak.  Wajahmu isyaratkan kelelahan.

“Marianti, kita harus cepat, sebentar lagi gumpalan pekat meraja.”
“Istirahat dulu, jangan paksakan menaklukkan perjalanan.”
“Perjalanan kita belum menepi, kenapa berhenti?”
“Kita kumpulkan  tenaga dulu,” jawabmu penuh harap.
Kuikuti harapmu. Seperti harapanku bertemu dengan ibu yang tak pernah lenyap dari ruang doaku. Kepulanganku kali ini untuk mencium tangan dan bersujud di kakinya, agar raib segala salah yang pernah kubingkiskan kepadanya.
Hari ini, setelah ribuan musim akhirnya aku pulang. Keinginan pulang selalu jadi gelitik yang terus memanja dalam diriku. Apalagi jika jelang Ramadan ataupun awala-awal Ramadan seperti ini. Aku ingin selalu temui ibu yang mulai rentah dan sakit-sakitan. Ia hidup sendiri setelah suami keduanya meninggal.
Ibu memilih menikah  lagi setelah mengetahui ayah juga telah menikah. Pernikahan yang kedua, kedua orang tuaku itulah, ibu yang dinikahi lelaki lain dan ayah yang menikahi perempuan lain membuatku muak dan benci. Hanya saja kebencian tersebut tak pernah kubahasakan kepada ibu.  Aku lebih memilih pergi  meninggalkan kampung terpencil ini. Pernikahan tersebut telah jadi cerita hitam yang berusaha kubungkus sedemikian rapat. Cemooh warga adalah nyanyian yang memerahkan telinga.  Peristiwa itulah yang mengajakku melangkah dari kampung ini. Kampung yang diapit bukit-bukit hijau. Saat itu, hidup merantau adalah jawaban dari kelakianku sesungguhnya. Tak peduli akan kerja apa dan makan apa di rantauan.  Tak kupeduli juga jeritan ibu yang melarangku pergi. Sedangkan  ayah sejak menikahi perempuan yang dihamilinya di luar nikah tak pernah berkabar. Perbuatan ayah tersebut  membabat habis air mata ibu.
Dan kini, aku duduk di tempat yang dulu selalu kusinggahi bersama ayah ketika pulang dari kebun. Sebuah batu besar yang datar. Ayah yang berpeluh akan menunjuk langit. “Kamu harus jadi langit, ia mengagumkan dan tak tersentuh. Tapi jangan pernah membuat ibu menangis. Langit akan murka jika kau melakukan itu.” Saat itu, aku hanya diam memperhatikan ayah yang serius. Memperhatikan lekuk-lekuk di wajahnya yang mulai dijamah keriput. Tapi akhirnya ayah jugalah yang mengajari ibu menangis. Makanya aku benci ayah. Kata-katanya tak sesuai lakunya.
.
*******
“Deang Suddin, ayo kita lanjutkan perjalanan, ibumu pasti tersenyum melihatmu pulang,” ujarmu meleraiku dari lamunan. Bayangan ayah dan ibu mengabur. Aku tersenyum padamu yang telah melepaskanku dari jerat kenangan pilu tersebut. Kau selalu punya cara  menjauhkanku dari rangkaian memar luka.
Sebenarnya, kejadian bertahun-tahun silam itu telah mengajariku bersahabat dengan sepi dan mencintai luka. Hingga tak ada seorang hawa yang bisa merasuk ke dalam kehidupanku.  Tapi kehadiranmu buatku terkesima. Di parasmu terpampang ketegaran yang murni, di hatimu kutemukan ketulusan yang lama hilang. Aku juga temukan perpaduan ibu dan ayah dalam dirimu. Mungkin karenanya aku mudah takluk padamu. Tanpa sungkan kuceritakan semua beban yang menimbunku ribuan musim. Kau orang pertama yang kuceritakan kisahku. Kisah yang menuntun langkahku  ke kotamu yang polusi. Dan berkat bujuk rayumulah, maka sebelum Ramadhan kali ini aku pulang. Aku mengajakmu pulang kampung menemui ibuku yang sebatangkara. Tentu ibu akan sangat bahagia melihatmu.
“Daeng…kita adalah keturunan yang menghargai orang tua, temui ibumu karena bapakmu tak pernah kau tahu dimana. Maka temui dulu ibumu, nanti kita cari bersama-sama ayahmu. Kamu harus minta maaf sebelum sesal merajammu lebih ganas lagi.” Kata-katamu itulah yang meluluhkan egoku, hingga akhirnya aku bersedia menemui ibu. Aku tak ingin Ramadan tahun ini kembali menjadi Ramadan yang mengutus gelisah seperti puluhan Ramadan yang lalu-lalu.
Ibu dan kamu adalah perempuan yang mengajaraku cinta. Ibu adalah pavarty yang menjulang tinggi penuh kasih. Hijau yang menetralisir segala polusi tingkahku yang aneh. Aku yakin doa ibu tak pernah kering. Mendoakan kesehatan dan tentu saja kepulanganku, anak lelakinya dari rantau. Yang juga pernah membuatnya menangis seperti ayah.

*******
“Masih jauh?” tanyamu.
‘Iya masih. Kira-kira setengah jam lagi perjalanan.”
“Oooo,” hanya itu jawabanmu. Tak ada lelah dan penyesalan yang kudapati dari wajahmu, meski peluhmu kembali membanjir. Aku jadi ingat ayah jika berpeluh dari kebun. Dan ibu yang berpeluh di dapur menyiapkan makanan untuk ayah. Ibu adalah perempuan setia dan pengertian yang pernah kusaksikan. Dan ibu juga adalah keganasan yang tak terkalahkan. Itu terbukti ketika ia tahu ayah telah menikah. Tanpa pikir panjang ia meminta cerai lalu menikah juga. Ibu selalu saja mampu keluar dari sepi dan sakit hati yang berlebihan.
Perjalanan yang menurun dengan rumput liar di pinggirannya membuatmu berdecak kagum. Mengagumi indahnya pemandangan. Jalan setapak ini tak ada yang berubah. Masih seperti   dulu ketika sering kutelusuri bersama ayah dan ibu. Hanya sedikit bedanya karena ada beberapa baliho yang bertuliskan janji untuk  kesejahtraan rakyat.
Setengah jam kemudian, kita akhirnya sampai di rumah panggung yang ditinggali ibu. Aku berlari ke atas, meninggalkanmu di anak tangga pertama. Salamku disambut serak seorang perempuan tua. Itu pasti ibuku. Setelah pintu terkuak, aku menghambur kepelukannya, mencium tangannya dan bersujud di kakinya. Aku lupa memperkenalkanmu sebagai menantunya yang kunikahi tanpa sepengetahuannya. Maaf

Cerpen:::; Memilih dalam Penantian




Hempasan ombak menghapus semua hayal, dunia realitas menunggu setiap karya pikiran tertuang
“burung-burung itu apakah mereka bahagia seperti yang terlihat”
pantulan cahaya matahari sore membuat laut seolah berwarna kekuningan
“pasir ini sudah berapa lama ada disini, adakah waktu yang berlalu membuatnya gusar”
perlahan matahari tenggelam dan cahaya yang menerangi langit itu mulai menghilang digantikan gelapnya malam, “oh waktu janganlah kau cepat berlalu”
*Seorang gadis duduk di tepi pantai di temani seorang lelaki, “sudah berapa lama aku ada di sini”, tak terasa sudah beberapa jam aku duduk disini sambil melamun, sekarang sudah waktunya untuk pulang
Hidup adalah pilihan maka kita harus selalu memilih apa?, kemana?, kapan?, dengan siapa? dan bagaimana?. kebebasan memilih sesuai keinginan dan hati nurani selalu mempunyai syarat yang harus dipatuhi, lalu dimana arti bebas memilih jalan hidup yang sesungguhnya
Waktu berjalan begitu cepat mulai dari detik-menit- jam-hari-minggu-bulan dan tahun membuat bunyi genderang drum itu bertambah nyaring dikepalaku, dan mereka semua menunggu jawaban dari ku. “Jadi siapa gerangan yang kau pilih, cepatlah ambil keputusan karena pernikahan adik mu tinggal beberapa bulan lagi”
Menurut nasehat orang tua yang hidup lebih dulu dari kita jika seorang adik melangkahi kakak perempuannya dalam pernikahan maka kakaknya itu akan susah mendapatkan jodoh, ‘pikiranku melayang memikirkan kata-kata itu dalam perjalanan pulangku yang diantar seorang lelaki yang spesial di dalam hidupku’
“Ahh jika saja diantara kami tak ada perbedaan iman maka dengan sangat senang aku menerimanya menjadi pasangan hidupku“. Sudah bertahun-tahun aku mengenal dirinya dan banyak sekali kecocokan yang kurasa diantara kita berdua, tak pernah ada kesepakatan untuk menjadi kekasih diantara kami, tetapi dari cara dia menemani, memperhatikan dan mendengarkan semua curahan hati dan ocehan yang tak penting dari ku itu yang membuatku percaya dia memang tulus menyayangiku
Sudah beberapa kali ku coba menjalin hubungan serius dengan teman lelaki yang seiman dan bisa diterima oleh keluargaku dengan harapan mungkin diantara mereka akan ku temukan seseorang yang bisa membuatku nyaman seperti rasa yang ada disaat bersama dia, tetapi perasaan tak akan pernah bisa dibohongi, setiap waktu yang kulewati bersama orang lain terasa sangat membosankan
Setiap pilihan yang kau ambil di dalam hidup mempunyai efek sebab-akibat yang akan mempengaruhi hari-hari selanjutnya, “siapa yang akan menjadi pasangan hidupku nanti, masih layakah kita mencari cinta sejati dijaman sekarang atau masih adakah cinta sejati didunia yang penuh dengan tipu muslihat ini”
Manusia memang mahluk yang kompleks, benar sekali menurut kitab suci manusia adalah mahluk yang paling tinggi derajatnya diantara semua mahluk ciptaan Tuhan, karena hanya manusia yang hidup di alam semesta dengan segala perasaan cinta yang membuatnya senang, gembira  bahkan sedih dan kecewa. Banyak sekali kisah-kisah romansa di masa lalu yang tercipta karena cinta, dari mulai kisah Romeo and Juliet sampai kisah kehancuran kota Troya karena sebuah perang besar
Sudah sampai didepan jalan masuk rumahku, saatnya kita berpisah setelah seharian kita menghabiskan waktu bersama, “rasanya setiap waktu yang ku habiskan bersamamu terlalu singkat, terima kasih sudah mendengarkan semua curhatku”
Niat orang tua hanya ingin yang terbaik bagi anaknya bukan untuk menjerumuskan kedalam penderitaan, itulah mengapa orang tuanya selalu menyuruh dia tuk cepat menikah sebelum adik laki-lakinya menikah di tahun depan, sebagai wanita bisa di bilang umurnya sudah cukup dewasa untuk menikah apalagi bila dibandingkan dengan semua teman-teman sepermainannya yang rata-rata sudah menjadi seorang ibu
“Kenapa harus ada perbedaan ini, kau tau betapa besar resiko yang akan aku dapat bila harus memaksakan hidup bersamamu tetapi berat juga rasanya jika aku harus jauh dari mu, mungkinkah masih ada kebahagiaan yang bisa kurasakan walau tak bersamamu”, waktu terus berjalan dan tak pernah mau peduli dengan perasaanku
Aku harus memilih

cerpen::::Egoku

Aku menghela nafas dengan berat. Merasakan perihnya duri yang tertancap di hatiku. Lama aku termenung dalam kamar. Tak tau harus berbuat apalagi untuk mengobati rasa perih ini. Bibirku    tertutup rapat. Mataku sayu tapi tak berani mengeluarkan air mata. Aku memang tak ingin menangis. Aku tak mau lemah. Tapi sakit, perih, sesak semakin memuncak di hatiku.
“jangan ngambek terus dong, Ris! Kamu kok jadi manja gini sih…” kata Aim dengan nada kesal.
“apa sih? Memangnya salah kalau manja?” jawabku nggak mau kalah.
“salah. Ini bukan Risa yang kukenal.”
“bilang aja kamu nggak peduli. Sana pergi! Nggak usah sok perhatian lagi sama aku.”
Kepingan cerita bersama Aim terbayang tanpa sadar. Aim memang hanya teman bagiku. Walau aku tak tau dia menganggapku sebagai apa. aku terlanjur terbiasa dengan semua perhatian yang dia berikan. Tapi entah kenapa aku tak pernah melihat semua kebaikannya. Mataku terlalu buta dengan sikap ego yang terus bersinggah di dalam diriku.
Kemudian kepingan kisahku yang lainnya terbayang secara bergantian. Kepingan bersama orang-orang yang telah menyayangiku dengan tulus tapi sedikitpun aku tak pernah melihat mereka. Melihat semua ketulusan yang harusnya kubalas dengan sepantasnya.
“kamu tau nggak? Walau aku sibuk tapi yang paling membuatku sibuk adalah memikirkanmu.” Kata kak Miftah dengan mengeluarkan jurus rayuannya.
“iyakah? Aku jadi pengen jatuh saking terharunya denger ucapan kamu, kak.” Kataku sambil nyengir kecut ketika menatap matanya.
Aku selalu menganggap semua kata-kata yang dilontarkannya hanyalah kebohongan. Itu terlalu berlebihan untuk cowok yang sudah memiliki pacar seperti kak Miftah. Aku heran kenapa dia melakukan hal bodoh yang hanya akan menjatuhkan harga dirinya. Pikir saja, dia sudah mempunyai pacar tapi masih menginginkanku? Yang benar saja!
“aku sayang Lia, Ris. Tapi aku juga sayang kamu. Aku nggak bisa lupain kamu sampai sekarang. Aku masih nggak rela lepasin kamu.” Kata Adit dengan nada lirih.
“huh, masih sayang malah jadian sama orang lain.” Kataku dengan ketus.
“kamu yang putusin aku kan? Aku jadian sama Lia awalnya Cuma buat lupain kamu!.”
“apa? jadi mau nyalahin aku ya?”
“huft.. iya maaf.. jangan marah lagi. Mau kan kamu tetep disampingku walau bukan jadi milikku?”
Aku menatapnya dan terdiam. Si mantan yang bodohnya masih menyimpan perasaan untukku. Walau aku pun masih menyayanginya. Otakku berputar dan muncul sebuah rencana untuk membalas semua kejahatan yang telah dia perbuat padaku. Aku tersenyum manis kepadanya. Senyum palsu untuk membuatnya menangis.
“Ris, beneran kamu nggak mau balikan sama Adit? Aku relain dia kalau kamu memang masih sayang.” Lia tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tak ingin kudengar.
“Aku memang masih sayang. Tapi aku nggak mau balikan.”
“kenapa?”
“aku nggak suka cowok gampangan.” Kataku ketus.
Semuanya teringat jelas dalam ingatnku. Dan itu membuatku sangat bersalah. Kesepian yang memuncak karena mereka mulai meninggalkanku. Dan kalut yang semakin menyertaiku. Mereka banyak berbuat baik padaku walau cacat sikap kadang muncul tapi apa yang telah aku lakukan untuk mereka? Aku merenung dan kembali berpikir. Air mata mulai menyapaku. Nggak! Nggak boleh lemah. Nggak boleh nangis! Teriakku dalam hati.
Aku membuka ponsel yang beberapa hari kubiarkan tergeletak di meja rias dengan keadaan non aktif. Dering SMS terus berbunyi ketika aku baru menyakan ponselku. Puluhan pesan masuk dalam kotak masukku. Perlahan aku membacanya satu per satu. Rasanya aku tak percaya. Mereka yang mengirim pesan padaku. Mereka yang kupikir jenuh kepadaku atas sikap ego yang selama ini hinggap dalam diriku. Dan yang membuat tak percaya lagi, mereka mengkhawatirkanku! Aku yang beberapa hari ini tak melihat dunia. Hatiku terenyuh.
Senyumku merekah saking senangnya. Semangatku perlahan bangkit. Otakku mulai rileks merangkai kata-kata maaf untuk mereka. Mengenyahkan egoku. Menghapus kesendirianku. Mengobati rasa bersalahku. Memperbaiki semuanya. Tak ada ego lagi. Tak ada dendam lagi. Janjiku dalam hati. Ya, kurasa aku tau apa yang akan aku lakukan setelah ini

cerpen;;;;CINTA DI FACEBOOK ♥ ♥ ♥


Keseharianku yang terkesan pendiam seakan luber begitu saja ketika ku mengenal sebuah jejaring sosial yang sudah mendunia. Trend yag menghebohkan dunia, tak ketinggalan aku pun ikut nimbrung didalamnya.

” Hari yang melelahkan ”

Ku tulis distatus Facebook ku, entah apa tujuanku menuliskannya. Yang penting aku ingin menulis itu, tak peduli orang peduli pada status ku atau tidak.

” Assalamu’alaikum ukhti ” Ting, suara chat Facebook ku berbunyi. Ku lihat pengirimnya. Aku tersenyum seketika.

” Wa’alaikumsalam akhi ” Ku beri emoticon smile untuk menyambut sapaannya.

” Apa kabar ukht ? ”

” Alhamdulillah baik, akhi gimana ? “

” Alhamdulillah juga baik. Ukhti kecapekan yaa ? ”

” Iya akhi, kebetulan lagi banyak kegiatan “

” Ukhti udah makan, jangan lupa makan yaa ? Biar dakwahnya lancar ”

” Iya akhi. Akhi juga jangan lupa yaa. Nanti sakit lho ”

Obrolan basa basi itu berlangsung cukup lama. Dialah yang selama ini memperhatikanku, entah kenapa keinginanku bermain facebook sekarang beralih. Yang tadinya ingin mendapatkan ilmu, teman dan lain-lain, sekarang aku terbatas ingin menemuinya. Hanya dia yang aku tunggu. Entahlah, apakah ini cinta ??
=====================================================
Sahabat, entah sudah berapa pasang manusia yang terjebak cinta di Facebook, entah berapa pasang manusia yang patah hati, dan entah berapa pasang manusia yang menikah bertemu di dunia maya. Ini lah dunia maya, apapun bisa terjadi disini. Bagaimana dengaNmu ??

Chat facebook adalah sarana ter’aman’ tanpa siapa pun tahu apa yang sedang kamu lakukan dan dengan siapa kamu berchating ria. Bukan kah begitu ??

Sapaan dari lawan jenis sungguh menggoda apalagi kalo dari gebetan, sungguh tak ada duanya. Kata-kata berbau islami pun terus digencarkan meskipun cuma tahu kata ” AkhY ” dan ” UkhtY “, tak masalah yang penting kan keren, membuat siapapun terpesona. Siapa tahu nanti si dia mau diajak ta’aruf.

Kalau sudah ta’arufan semua pun akan menjadi halal. Perhatian yang lebay,manja-manjaan, cemburu-cemburuan pokoknya gak ada yang boleh chating sama si dia atau malah pasword facebook pun diminta.hehehe...pengekangan pun dimulai. Kok gini ya, padahal bukan suami istri.

Aduh akhy..aduh ukhty..

Sungguh terrrrrrrlalu…cinta itu gak salah, yang salah itu yang sok perhatian atas nama cinta. Apalagi mengatas namakan ta’aruf agar serasa semuanya jadi halal.

Ta’aruf model gini hanya merubah nama pacaran saja ke gaya islami. Biar kelihatanya tetap dalam koridor islam, padahal isinya sama saja. Dengan gaya-gaya islami semua ditutupi. Tetep aja yang namanya pacaran mau diganti gaya apapun tetap akan kelihatan.

Jangan terkecoh dengan namanya ta’aruf lantas semua jadi serba dibolehkan, apalagi yang merasa ta’aruf di dunia maya. Karna merasa gak pernah ketemuan atau gak pernah khalwat karna berhijabkan dunia maya.

” Ukhty, saya kagum denganmu karna status-status ukhty selalu membuat saya terpesona. Maukah anti ta’aruf dengan saya ? bila cocok, insyaAllah saya akan melamar anti “

Kata-kata itu pernah dikeluhkan seorang wanita kepada saya. ” Bila cocok “ kata ini kok begitu rancu yaa. Artinya ta’aruf di facebook ini seperti gak ada gunanya. Emang gak ada gunanya ta’aruf model gini di facebook. Kalo ternyata dalam perjalanan perFacebookan, dia gak cocok dengan kamu. Dia akan meninggalkanmu. Udah buang waktu, buang pulsa pula buat hal yang gak pasti. Ehh..tapi gak tahu juga kalau ternyata kamu menikmati kesenangan yang gak pasti itu juga.

Memang fitrahnya wanita lemah sekali dengan rayuan, apalagi kalo ada embel-embel ta’aruf dan khitbah. Langsung kena tembak. Jadi sepertinya kata-kata ” Yuk Ta’aruf ” bisa disandingkan dengan ” Yuk Pacaran”. Iya apa iya ??

Ingatlah sahabat, ta’aruf lah secara syar’i. Jangan lah kata-kata islami dijadikan peng ‘halal’ an pacaran. Gak ada di ta’aruf atau yang udah dilamar pakai acara manja-manjaan atau cinta-cintaan sebelum menikah. Yang kayak gini hanyalah penimbul fitnah dan tetep tergolong dengan makna pacaran.

Sudah hampir satu bulan aku ta’aruf denganya, bahkan kata-kata mesra pun sering kali tersisipi dalam chating kami atau ketika dia menelponku. Baru dua kali dia menelponku, namun hati ini sangat ingin untuk terus menelponnya. Maka SMS adalah pilihan terakhirku bila dia gak terlihat di Facebook. Belum lagi kalau dia sudah memberikan kata-kata cinta yang terbentuk dalam sebuah syair untukku, serasa dunia ini hanyalah untukku dan dirinya.

“ Akhy, kapan kamu mau datang kerumah ? “

“ Insyaallah ukhti secepatnya. Kalo pun aku ke rumah, aku belum bisa melamarmu “

“ Kenapa akhy? “ Mataku terbelalak melihat ketikannya yang menusuk hatiku.

“ Aku masih belum kerja mapan, keadaanku masih seperti yang ukhty tau “

“ Aku bisa terima keadaanmu akhy “

“ Afwan ukhty, mengertilah “

“ Aku gak menuntut akhy untuk segera menikahiku. Aku hanya ingin akhy membuktikan keseriusan. Itu saja “

“ Ukhty gak percaya denganku ? “

Percakapan ini selalu berakhir dengan pertengkaran. Tak ada kejelasan hubungan ini mau diarahkan kemana. Tapi aku pun tak mampu untuk kehilangannya. Aku masih berharap banyak padanya.
=====================================================
Ada yang pernah ngalamin ?? Hubungan yang seakan tak ada arah tujuan. Ta’aruf yang hanya sebatas nama, namun didalamnya terdapat hubungan yang tak jauh beda dengan pacaran. Pacaran berselimut ta’aruf. Makanya banyak yang akhirnya menyalahartikan ta’aruf sama dengan pacaran.

Terus bagaimana bisa mengenalnya ??

Sekali lagi, ta’aruf beda dengan pacaran. Ta’aruf bukan pacaran. Jadi ta’aruf gak perlu tuh dengan SMS cinta, Chatingan atau status mesra-mesraan. Gak banget deh.

Toh berkenalan juga gak harus dengan pacaran kan ?? terus ngapain pacaran, rugi materi, rugi waktu juga rugi hati. Bayangin aja, belum jadi suami istri udah cemburu-cemburuan, udah saling tuduh, lalu patah hati, jadi capek hati dan rugi juga pacaran Cuma buat sakit-sakitan.

Ta’aruf gak gitu!!!

Ta’aruf di facebook yang merasa semua sudah serba halal tentu berbeda dengan ta’aruf syari yang seharusnya. Kalo Cuma di facebook doank, mana tahu kalo si dia serius. Emang yakin kalo si dia gak ta’arufan sama yang lain juga ??

Atau kamu punya solusi sendiri dengan mencantumkan identitas pasanganmu sebagai ‘tunangan’ di facebookmu. Jadi seolah-olah kalo sudah tunangan menjadi hal biasa untuk mesra-mesraan. Memang kalo udah tunangan boleh gitu mesra-mesraan, tunangan itu bukan akad lho, bukan terpatri disebuah pernikahan. Masih belum halal juga kan ?? Kenapa jadi ngerasa kalo udah ta’aruf atau ‘tunangan’ jadi bisa serba halal ??

Sebuah ta’aruf syari, tak akan ada kata cinta sebelum pernikahan. Ta’aruf tentunya gak bisa dilakukan di facebook, karna ta’aruf butuh pihak ketiga yakni wali atau mahrom dari masing-masing pihak. Ta’aruf ini pun gak serta merta semua jadi halal, gak ada sms cinta atau chatingan mesra. Gak ada komunikasi yang berlebihan, hanya menghubungi jika benar-benar penting saja. Mentang-mentang lagi masa ta’aruf , jadi sering SMS an atau telponan nanyain hal yang gak penting. Gak ada yang seperti ini.

Kalau mau tahu calon tanpa berhubungan dengannya gimana donk ??

Kamu dan dia kan punya kerabat dan sahabat kan ??
Kamu bisa tanya kepada mereka, atau kalo perlu langsung tanya pada walinya. Kamu bisa tanya tentang kehidupannya, karakternya, bagaimana dia terhadap lingkungan atau hal lain yang kamu butuhkan untuk kemaslahatan pernikahanmu nanti. Dan tentunya mereka yang kamu tanya harus memberikan informasi yang kamu butuhkan.

Tentu hal ini akan menjaga hatimu dan hatinya, izzahmu dan izzahnya, iffahmu dan iffahnya. Tak perlu pacaran berselimut ta’aruf kan untuk mengenalnya. Masih ada ta’aruf yang benar-benar ta’aruf.

Udah deh, jangan takut kehilangan si dia. Kalo kamu yakin meninggalkan perkara bathil untuk melangkah pada kebenaran, Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Yakinilah itu.

Beranjak ku pada cinta yang suci, enggan ku berdiri pada hitamnya hati..

Jawaban kehidupan memberiku makna, bahwa cinta tak hanya diucapkan..

Dia dibuktikan dengan izzah dan iffah yang putih..

Dia dibuktikan dengan keindahan dari cintaNya dan untukNya..

♥ jika qt mencintai ALLAH,maka qt akan memiliki segala na ♥

cerpen::::Gerimis Cinta Dalam Facebook

Cinta adalah keindahan, wujudmu agung, rupamu tertutupi seribu kebahagiaan dan keharmonisan. Mungkin ini hanya berlaku pada diriku, dan tentu masih banyak definisi lain tentang cinta. Cinta yang ingin aku tuliskan adalah cinta antar sesama mahluk Tuhan, Allah. Menurutku, sisi indahnya cinta itu, sangat beragam, dan luas. Tak mungkin aku dapat menuangkan secara menyeluruh, karna sekali lagi bahwa indahnya cinta sangat luar biasa luas dan besar. Tentu sahabat-sahabat ku punya banyak pengalaman dan cerita cinta, mulai dari cinta monyet, menyenagkan, dan mungkin cinta yg memilukan, semoga cintaku selalu indah.amiiin.
Dalam pengamatan aku, banyak cara untuk mengungkapkan rasa cinta dengan seseorang yang dicintai, dan masing-masing mempunyai tujuan dan arti yang sama walau metode yang digunakanya berbeda. Ada sebagian orang yang mencurahkan rasa cintanya dengan langsung menemui si object dan kemudian mengatakan bahwa ia jatuh cinta, dan ingin menjadi kekasih hatinya, kemudian ada juga yang mencurahkan isi hatinya melalui perantara orang lain, bisa teman, sahabat, atau orang tua dan lain sebagainya. Cara ini juga memiliki tujuan yang sama dan bukan berarti tidak jentel, karna mencurahkan isi hatinya melalui orang lain, tapi yang aku fahami, itu merupakan sifat dan karakter orang tersebut, dan bagiku itu memiliki sisi indah tersendiri, dan itu juga bagian dari seni indahnya cinta.
Kemudian, ada juga yang mencurahkan isi hatinya lewat surat, dengan menulis puisi atau kata mutiara yang penuh degan keindhan. Kondisi ini juga memiliki hasanah cinta tersendiri, lagi, dan lagi, ini bukan karna tidak jentelmen karna tidak langsung menyatakan didepan objeknya, tapi bagiku ini lebih dikarnakan langit istana cinta itu begitu indah dan luas sehingga cara mewujudkan cintapun bermacam-macam. Ada juga yang mengungkapkan cintanya lewat, telpon, sms, jejaring social and sejenisnya. Hal ini bagiku tidak aneh, justru ini adalah seni yang memiliki cirri keunikan tersendiri, sekitar ratusan juta orang jatuh cinta lewat media jejaring social dan mereka berujung pada kebahagiaan. Sungguh luas dan tanpa batasnya kamu wahai CINTA, urat nadimu menyebar dan hidup disetiap hembusan kehidupan.
Ada sedikit cerita yang terjadi beberapa waktu yang lalu,yaitu ketika aku jatuh cinta dengan seseorang wanita dijejaring social, facebook. Awalnya jejaring social bagiku, sebenernya hanya aku jadikan sebagai alat untuk berkomunikasi dan mendapatkan beragam fenomena di dalam facebook tersebut. Dalam facebook aku suka membaca cerita, opini, dan lainya, yang ditulis dalam salah satu domain facebook, note. Menurutku domain-domain yang disediakan oleh FB cukup bagus, disitu siapapun bisa berteman dengan siapapun tanpa membedakan latar belakang, misalnya ekonomi, social, pangkat, pendidikan, dan lain sebagainya. Contoh nyata, aku adalah orang biasa yang hidup dan besar di desa tertinggal dan terpencil, tapi aku tidak merasa kesulitan untuk menjalin pertemanan dengan mereka-mereka yang tinggal di perkotaan, yang mungkin bisa dibilang civilized people.
Beberapa orang aku lihat dan check, mulai dari profil, info, status dan seterusnya. Pada saat itulah ada kekagumanku pada seorang wanita di jejaring social, Facebook. Namun, ketika kekagumanku muncul, aku tidak serta merta mengatakan isi hati aku terhadapnya, aku butuh waktu seminggu untuk hanya sekedar memantau aktivitasnya di FB. Setelah seminggu, aku ternyata terkesan dan ingin sekali rasanya menjadikanya sebagai pacarku. Setelah melihat keinginanku, lalu akupunmemberanikan diri untuk menuliskan kata-kata untuknya, dan aku rangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang lumayan panjang dan indah, yang didalamnya terdapat ketulusan dan kejujuran dari dalam hatiku yang paling dalam.
Pada awalnya aku agak ragu dan pesimis akan cara yang aku gunakan, karna secara nyata, aku denganya belum pernah bertemu, dan belum pernah chating, apalagi sms atau telpon, jadi aku disini betul-betul murni memanfaatkan FB untuk mengungkapkan rasa cintaku. Dengan berdasarkan pemikiran, bahwa CINTA itu begitu indah dan luas, maka aku berkesimpulan bahwa hal yang aku lakukan ini adalah wajar, karna bagiku ini merupakan bagian dari fenomena CINTA. Setelah aku ungkapkan rasa yang ada dihatiku, sejak itulah keinginan kuatku untuk selalu membuka FB setiap waktu hanya untuk menunggu jawaban darinya, hanya untuk melihat apakah rasa cinta yang aku ungkapkan sudah dijawab atau direspon olehnya. Waktu demi waktu aku menunggu, sempat terfikir olehku, mungkin cara yang aku lakukan aneh baginya, dan mungkin aku dianggapnya iseng, buktinya message aku tidak dibalas-balas olehnya. Dengan hati yang tenang sekaligus penuh harapan, akupun terus menunggu, sambil melihat profilnya, statusnya, fotonya, infonya, dan semuanya.
Hal tersebut aku lakukan terus-menerus disaat aku membuka FB, anehnya! Kenapa aku gak bosen lietin FB-nya si dia terus, hehehe. Mungkin ini yang namanya cinta kali ya, hehe. Setelah penantianku yang cukup agak lama, tenyata eh ternyata dia membalas message ku, dengan tergesa-gesa akupun membukanya dengan harapan dia mau menerimaku sebagai cowoknya, tapi ternyata faktanya berbalik, dia bilang tidak bisa jadi pacarku, dan hanya ingin menjadi sahabatku.heuk.heuk…. Seketika itu pula ada kesedihan dihatiku, tapi sedih itu tidak bertahan lama, karna aku sadar bahwa cinta itu tak harus memiliki. Sekitar 3 jam setelah itu akupun membalas message darinya, akupun berkata; baiklah kalau kamu tidak berkenan menjadi pacarku tidak papa, aku memulai ini dengan ketulusan dan keihklasan, maka jika kini kamu hanya ingin menjadi sahabatku, akupun menerimanya dengan tulus dan ihklas pula, terimakasih. Itulah sepenggal pengalaman dan kisah cintaku dalam situs jejaring social facebook

Sabtu, 21 Juli 2012

cerpen:Lempuyangan: Seraut Kenangan


Sinyal masuk stasiun dibuka. Kereta kujalankan kembali dengan kecepatan rendah. Tampak Stasiun Lempuyangan detik demi detik semakin membesar, mendekat. Orang-orang sudah berbaris di jalur dua. Kecepatan kereta berangsur-angsur kuturunkan selepas melewati perlintasan di bawah jembatan layang yang penuh mural di setiap sisi penyangganya. Kereta mulai memasuki area stasiun, tepatnya di jalur dua.
Aku mengerem sekali lagi, perlahan-lahan, kulihat barisan penumpang yang berjejal. Seorang petugas stasiun baru saja menangkap surat perjalanan yang kuserahkan lewat jendela. Akhirnya kereta pun berhenti. Dan seperti biasanya, perempuan itu sudah ada di situ, berdiri di ujung barat stasiun, tersenyum padaku.
Lempuyangan yang murung, lempuyangan yang sedih. Mendung bergulung-gulung, cahaya matahari mengendap di langit. Sore begitu tua. Ibu-ibu penjual nasi berpakaian hijau hilir mudik di sepanjang gerbong, berteriak dengan intonasi yang khas, menjajakan nasi yang hangat dan akan selalu hangat. Suasana yang selalu hiruk-pikuk. Tetapi, setelah turun dari lokomotif, perhatianku kemudian hanya tertuju kepadanya, seorang perempuan yang kini duduk di sebelahku, di tangannya ada rantang kecil. Aku tahu, rantang itu berisi makanan: masakannya sendiri. Kami duduk dan sejenak saling menatap.
”Terlambat setengah jam, ya?” Ia bertanya.
”Iya. Kamu sudah lama?”
”Lumayanlah…. Ini, dimakan dulu.”
Aku membuka rantang bersusun itu, ada nasi dan lauk ayam, lengkap dengan sambal. Aku pun segera menyantapnya. Ia hanya mengamatiku.
Kereta yang kukemudikan masih punya waktu sekitar lima belas menit di Lempuyangan, ini dikarenakan sejak perjalanan awal tadi sudah terlambat, dampaknya adalah mengacaukan seluruh jadwal, dan karena keretaku kelas ekonomi, maka harus lebih sering mengalah.
Lima belas menit itu kumanfaatkan untuk menikmati masakan pemberiannya. Ia, seperti hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya, tetap tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara, mungkin ia hanya berbagi kisah-kisah pendek yang bahagia, entah fiktif entah nyata, lalu diakhiri ucapan selamat jalan ketika aku harus kembali ke atas lokomotif.
Kami duduk di tempat yang agak sepi. Sementara di bagian timur, penumpang hilir-mudik, naik-turun, mengangkat tas, berdesakan, terburu-buru. Aku masih makan. Sesaat kulihat ia tersenyum tipis kepadaku, setipis hati yang sepertinya sangat rindu.
***
Sudah empat tahun aku menjadi masinis, menjalankan kereta api Logawa jurusan Purwokerto-Jember, terkadang juga aku menjadi kepala perjalanan kereta Sawunggalih jurusan Kutoarjo-Pasarsenen. Tetapi tak ada yang lebih menyenangkan selain membawa kereta Logawa memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Sebab di sanalah aku selalu melihat perempuan itu selama beberapa bulan terakhir, setia menunggu kedatanganku.
Aku tidak ingat lagi bagaimana pertemuan awal kami, bagaimana kemudian ia rajin membawakanku masakan dalam rantang kecil, bagaimana kami bisa akrab tanpa saling mengenal, bagaimana ia bisa bersabar menunggu kehadiranku di sela jadwal kereta yang selalu dan akan selalu terlambat. Bahkan, hingga kini aku tak pernah tahu namanya. Aku juga tidak memperkenalkan namaku, dan aku tak bertanya apakah ia mengenal namaku.
Ya. Semua terjadi begitu saja, lebih alami dari uap air yang menjadi hujan, seakan-akan kami pernah mengenal pada suatu masa yang lampau, dan kini dipertemukan kembali. Ia menjadi sangat akrab berada di dekatku. Namun, aku tak pernah berpikir serius. Bisa saja ia tidak hanya melakukan ini padaku. Mungkin setiap ada kereta yang tiba, pasti ia juga mendatangi sang masinis dan menawari makanan. Itu dugaan awalku, tetapi, ketika iseng-iseng kutanya masinis kereta Pasundan jurusan Bandung-Surabaya, apakah dia pernah melihat seorang wanita tersenyum padanya setiap kali tiba di Stasiun Lempuyangan, dia tampak bingung, dan ketika kutanya lagi, apakah ada seorang wanita yang memberinya makanan dalam rantang kecil, dia semakin bingung.
Karena itulah, selanjutnya aku benar-benar yakin bahwa ia hanya menungguku, sebab masinis kereta Logawa selain aku pun mengaku tak pernah melihat perempuan yang memberikan makanan dan menyambut dengan senyuman.
Pada usia di atas 40 tahun, memiliki seorang istri dan sepasang anak, pertemuan dengan seorang perempuan rasanya hanya kilasan sesaat yang tak berjejak bagiku, seperti risiko yang biasa dihadapi seseorang yang lebih sering berada dalam perjalanan. Namun lama-kelamaan, kehadirannya seperti serabut yang kian lama kian menguat. Aku kian terjebak. Tiba-tiba ada aura tak terelakkan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan berhenti di Lempuyangan. Pada sore hari, dari arah Jember, kereta ini tiba pukul empat, sementara pagi harinya, dari Purwokerto, kereta tiba pukul sembilan. Di dua waktu tersebut, ia selalu berada di stasiun ini, menyambutku turun dari lokomotif, menjulurkan rantang kuningnya yang berisi makanan kepadaku.
Seperti sebuah seremoni sederhana, aku merasakan ketenangan tersendiri di antara kepenatan dan kebosanan menjadi kepala perjalanan ini. Entah berapa usia perempuan itu, mungkin dua puluh lima, mungkin lebih muda dari itu. Tetapi ia tampak dewasa, cara berpakaiannya, sikap hangatnya setiap kali menatap dan menyambutku, seperti telah mengerti bagaimana menghadapi seorang laki-laki. Diam-diam, kalau sedang bertugas di atas kereta Logawa, aku selalu ingin cepat bertemu dengannya, duduk berdua selama kereta berhenti. Dan setiap kali petugas stasiun sudah memberikan tanda hijau, aku selalu mengalami perpisahan layaknya yang terjadi antara penumpang kereta dan pengantarnya. Aku kembali ke atas lokomotif, melihat ia melambaikan tangan kepadaku, lalu kami perlahan menjauh, menjauh, menjauh, begitu berulang-ulang, dengan janji akan bertemu di jadwal perjalananku berikutnya.
***
Begitulah. Minggu melipat hari, bulan menggulung minggu. Ia masih setia, menungguku, menemaniku dalam rentang waktu yang sangat sedikit, memberikan makanan yang selalu beragam. Entahlah, aku tak bisa menafsirkan perasaan macam apa yang sedang berusaha tumbuh di antara kami. Aku menikmatinya, tiba-tiba segala di luar itu menjadi tidak penting. Rasanya keretaku ingin kuberhentikan lebih lama lagi, melawan lagu anak- anak itu.
Sampai akhirnya, pada suatu hari aku menyadari sesuatu.
Pagi itu, aku berangkat dari Purwokerto. Rindu sudah menggebu. Ketika memasuki Stasiun Lempuyangan, aku melihatnya mengenakan daster merah muda, wajahnya tetap cerah, senyumnya sangat indah, membawa rantang kecil yang segera diberikannya kepadaku. Tetapi sepertinya ada yang tak bisa disembunyikan lagi kali ini: aku melihat perutnya membesar, aku menebak, ia sedang hamil. Itu juga jelas sekali dari perubahan gerak tubuhnya. Aku pun merasa bodoh, mengapa beberapa bulan terakhir aku tak sempat memerhatikan? Meski bisa saja itu karena kemampuannya sebagai wanita untuk menyembunyikan sesuatu. Namun pagi ini aku tak lagi tertipu, ia menunduk ketika aku beberapa kali melirik ke arah perutnya. Seakan-akan sudah tahu apa yang ada di pikiranku tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.
Ya, ia tak perlu berkata apa-apa. Aku juga tak berhak bertanya apa-apa. Kami sama- sama tertunduk. Jadi, ia sudah punya suami, dan sebentar lagi punya anak. Begitu. Lalu untuk apa selama ini ia membawakanku makanan? Apakah ia sekadar membangun fantasi? Padahal aku sudah 40 tahun, setidaknya ia bisa menafsirkan usiaku. Aku tak mengerti, perempuan, di mana-mana, selalu membingungkan.
Sejenak hanya terdengar suara mesin lokomotif, teriakan ibu-ibu penjual nasi, dan obrolan orang-orang yang bercampur aduk. Selain itu, kesepian batin menghampar di antara kami.
Dan demi mencairkan suasana, akhirnya aku membuka suara juga.
”Sudah berapa bulan?”
Mendengar pertanyaanku yang sudah diduga-duga, ia menoleh, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.
”Lima bulan.”
”Ooo….”
Dan tiba-tiba saja aku langsung kehabisan kata-kata.
”Semoga kelak anakku ini bisa jadi masinis, ya?” Ucapnya kemudian. Aku tak tahu apakah ia bertanya kepadaku, sebab kepalanya lagi-lagi tertunduk, tak menatapku. Aku tak mengerti apakah itu semacam pertanyaan atau selintas harapan.
”Jadi masinis? Seperti aku?”
Ia mengangguk, masih tak menatapku.
”Jangan.” Jawabku.
”Kenapa?”
”Masinis sangat jarang tinggal di rumah. Lebih baik anakmu menjadi dokter atau guru.”
Ia terus menunduk dalam senyum heningnya. ”Aku tetap lebih suka anakku menjadi masinis.”
”Kenapa?” Kali ini aku yang bertanya.
”Sebab, masinis selalu dirindukan oleh penumpang kereta meski tak ada yang mengenalnya.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Sebuah jeda yang gelisah, beberapa teman petugas stasiun tampak melirik kepadaku, tetapi mereka sudah tahu, selalu ada yang menungguku di sini. Pemandangan yang sungguh biasa.
Keheningan ini pun terus merebak di antara kami. Aku memikirkan kata, ia entah berpikir apa. Kami mencapai titik diam yang sempurna. Sampai beberapa menit kemudian, seseorang membuyarkannya.
”Waah, Vivin, habis diusir Tante Dini, sekarang mangkal di sini, ya?” Ucap seorang pemuda yang lewat di hadapan kami.
Ia tampak terkejut mendengarnya. Kulihat wajahnya mendadak merah, matanya mulai basah. Ia tak berkata apa-apa, namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ia segera bangkit, lalu berlari ke arah peron tanpa berkata apa-apa lagi padaku. Semua serba cepat. Entah mengapa aku hanya terpaku, tak memanggilnya untuk kembali. Aku seperti melamun, aku berpikir amat serius tentang kata ”mangkal”, ia sudah menghilang di kerumunan, pemuda itu pun entah ke mana, lamunanku baru selesai, kepala stasiun mengumumkan keberangkatan. Rantang kecil yang ternyata masih di tanganku, kubawa ke atas lokomotif.
Mangkal? Apa dia pelacur? Gumamku. Sambil menatap rantang kuning yang ditinggalkannya.
Suasana kemudian sangat mengganjal. Pagi menjelang siang itu, tak ada lambai perpisahan seperti biasa, seakan-akan aku merasakan suatu keanehan yang dalam. Seperti ketakutan yang samar-samar.
***
Dan sungguh. Apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi.
Sejak kejadian itu, sampai hari ini, pada setiap kedatanganku di Lempuyangan, ia tak ada di sana. Tak pernah kulihat lagi seorang perempuan yang menungguku di Stasiun Lempuyangan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan tiba. Seakan-akan yang terjadi selama ini hanya ilusi yang terang dan mencengangkan. Rinduku tersesat, buntu, seperti berujung di sebuah tebing yang terjal. Ke mana perempuan itu? Ke mana dia? Mengapa aku merasa kehilangan? Mengapa ia pergi begitu saja?
Aku berharap ini memang ilusi, mungkin karena aku merindukan keluargaku. Namun aku paham, selalu ada sisa-sisa bayangan bagaimana kebersamaan itu jelas terekam, bagaimana ia tersenyum padaku, bagaimana ia menyerahkan masakan buatannya sendiri, lalu berbincang tentang segala hal yang indah, menghabiskan waktu yang singkat seperti kerinduan yang amat panjang, sampai akhirnya ia pergi begitu saja dengan menahan tangis.
Ya. setidaknya aku bisa mengerti, semua kenangan itu memang benar-benar pernah terjadi, di sini, di Stasiun Lempuyangan yang dingin ini.

cerpen:::Romansa Merah Jambu




 Quantcast

Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.
Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.
Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.
Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.
Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.
”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.
Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.
Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”
Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.
”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.
”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.
”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.
”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.
”Kau hebat sekali,” puji Gindo.
”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.
Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.
Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.
”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.
”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.
Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.
***
Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.
Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.
Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:
”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.
Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?

cerpen:::Belati dan Hati


http://loverakiz.blogspot.com/ 
 Quantcast
Aku mendatangimu dengan dua malaikat di kedua sisiku. Malaikat di sebelah kananku, semenjak hari kelahiranku, hanya mengharapkan aku melakukan kebaikan, lalu menuliskan semua kebaikan itu di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain sutra putih yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah yang nanti akan ia bangga-banggakan kepada penciptanya.
Malaikat di sebelah kiriku, hingga hari kematianku, tidak pernah mengharapkan aku melakukan kejahatan, meski yang ia lakukan hanya menuliskan kejahatan-kejahatan yang kulakukan di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain lusuh hitam yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah nanti yang akan ia perlihatkan kepada penciptanya.
Bajuku tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku. Rambutku panjang melebihi punggung dan tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering maka sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Kuku di tangan kiri dan kananku panjang-panjang sehingga mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu.
Tidak ada alas kaki, tidak ada mahkota berlian, tidak ada kereta kuda.
2
Kedua telapak tanganku terbuka, menampung hatiku yang merah di tangan kanan namun tidak berlumur darah karena telah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu, lalu belati mengkilat di tangan kiri, yang belum lama kupakai untuk merobek dadaku dan sudah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu.
Inilah kabar yang seharusnya dilihat dan didengar semua orang. Sebuah berita, bukan cerita, karena ada beda yang nyata antara aksara kedua dengan aksara ketiga, meski hanya satu, karena sebuah berita seharusnya berguna, begitu pula cerita. Bukan tentang jubah yang dikenakan si Anak Pertama. Bukan tentang makanan yang masuk ke perut si Anak Kedua. Bukan tentang permata yang mengelilingi lengan si Anak Ketiga. Sampah. Bukan tentang si Mata Besar yang menawarkan cincin kepada si Mata Kecil. Bukan tentang si Kuping Besar yang memberi cincin kepada si Kuping Kecil. Bukan tentang si Hidung Besar yang mengambil cincin dari jari si Hidung Kecil. Sampah. Sampah. Bukan tentang si Gemuk yang tubuhnya kurus tiba-tiba. Bukan tentang si Kurus yang tubuhnya menggelembung tiba-tiba. Bukan tentang si Hidup yang mati tiba-tiba. Sampah. Sampah. Sampah.
Sering kepalaku berputar-putar dan mataku menjadi gelap gulita bila memikirkan anak-anak perempuan setiap hari, dari pagi hingga malam, hingga kembali pagi, melahap sampah-sampah di dalam rumah-rumah mereka, sampah beku dan sampah bergerak, begitu pula perempuan-perempuan berketurunan puluhan yang hanya bergerak dari kasur ke sumur ke dapur, dari sumur ke dapur ke kasur, dari dapur ke kasur ke sumur, dari sumur ke kasur ke dapur.
3
Sang Kejahatan dan Sang Kebaikan sering bertengkar di dalam kepalaku. Suaranya membuatku gundah dan berputar-putar tiga belas putaran. Mereka bersuara sama memekakkan, bahkan selalu memukul-mukul tempurung kepalaku dengan tombak besi merah dan tongkat kayu putih di tangan kanan mereka hingga membuat kepalaku semakin berputar-putar dua puluh enam putaran.
Bila Sang Kejahatan memenangkan pertengkaran karena suaranya lebih memekakkan, maka ia akan bersorak- sorai sambil menghentak-hentakkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.
Bila Sang Kejahatan kalah dalam pertengkaran karena suaranya kurang memekakkan, maka ia akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.
Maka aku sering diam, dan berpikir lebih baik tidak berkeinginan mempunyai keinginan.
4
Hati dan belati bukan pilihan yang harus kau pilih. Engkau bukan sedang ikut berjudi dalam lingkaran empat-lima orang, atau permainan mengadu nasib yang dilihat 155 juta orang semalam suntuk di seluruh negeri.
Hati dan belati, hari ini, bukan perumpamaan yang diucapkan para lelaki yang sepanjang hari menyembunyikan taring dan tanduknya dengan wajah laksana Sang Kebaikan dan mengenakan mahkota berlian di atas kereta kuda mewah berpahat lambang-lambang kerajaan.
Hati kuberikan dengan kerelaan, karena aku ingin engkau menyimpannya di dadamu, sebelum aku merobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, maka kita tidak perlu mempertarungkan kata-kata tentang isinya sewaktu-waktu hingga berhari-hari dan membuat kita bagai orang tanpa kepala.
Belati kubawakan bukan untuk mengancammu, melukaimu, bahkan membunuhmu. Aku hanya ingin melindungimu dari iblis-iblis bertaring dan bertanduk dan berbulu dan berekor dan berlidah cabang tiga belas yang akan mencakari tubuhmu dari kiri dan kanan, dari depan dan belakang, dan dari pencoleng-pencoleng yang akan merobek dadamu dan mengambil hatiku yang disangkanya hatimu dan menyimpannya di dada mereka, padahal seharusnya mereka tahu ruang di dadamu hanya cukup untuk hatiku dan ruang di dadaku hanya cukup untuk hatimu, karena hati kita sama besar, sungguh-sungguh sama, maka itulah yang membuat kita bisa hidup selamanya bila kita telah merobek dada dan menukarnya. Tidak mati salah satunya hanya lebih dahulu beberapa helaan, karena sudah pasti disusul kematian berikutnya.
Kematianku, atau kematianmu.
5
Terimalah hati dan belati yang kubawa, karena inilah harta yang kumiliki. Semata. Aku tidak akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, karena aku tidak memilikinya dan aku bukan lelaki yang akan menyimpan perempuan-perempuan mereka di dalam kamar-kamar rahasia dan menyetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan.
Bila sudah kurobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, dan hatiku yang kubawa di tangan kananku kuletakkan di dadamu, maka akan kuhadiahi engkau dengan bunga-bunga setiap pagi dan malam.
Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah, padahal pernah kudengar seorang perempuan tua berkata, ”Seorang perempuan nyata indahnya ketika ia terbangun dari tidur pagi harinya.”
Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku, padahal pernah kudengar seorang lelaki tua berkata, ”Keindahan perempuan untuk di mata dan di badan.”
Akan kuberikan engkau ciuman di kening setiap malam dan pagi hari sebagai rasa bungah cintaku kepadamu. Bukan lumatan di bibir atau buah dadamu, karena aku mencintai hadirmu, bukan semata tubuhmu, maka aku tidak akan memperkosamu sejak sebelum tengah malam hingga ayam jantan berkokok bersama keluarnya matahari.
Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah. Semata-mata.
Akan kuganti baju tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku, dengan jubah berwarna merah bersulam naga-naga dari benang emas, meski tetap panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku.
Akan kuhabisi rambut panjang melebihi punggung yang tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering dan sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Maka rupaku akan laksana Penguasa Negeri Pasir, meski aku membenci manusia bodoh yang menganggap dirinya Sang Maha Segala dan aku selalu tertawa bila mengingatnya tenggelam bersama pasukan berkudanya di laut luas saat mengejar lelaki yang dijadikannya sebagai musuh besar, yang pergi bersama pengikut-pengikutnya, padahal saat kanak-kanak lelaki itu dijadikannya sebagai saudara sedarah karena mereka datang dari dua rahim.
Akan kupotong kuku di tangan kiri dan kanan yang panjang-panjang sehingga aku mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu. Maka tanganku akan begitu indah hingga tidak lagi membuatku laksana setan yang datang dari lubang-lubang besar di kaki gunung.
Terompah dari kulit domba dengan lapis sutra dan butir-butir emas akan membungkus kedua kakiku. Mahkota dari emas dengan butir-butir berlian dan permata akan melindungi kepalaku. Sebuah kereta dengan kuda-kuda yang kuat dan bersih akan mengikutiku kemana angin.
6
Namun aku tidak akan memaksamu. Bila hari ini engkau mengutuk sebuah ketiba-tibaan, maka aku akan menunggumu hingga beberapa hari berpikir meski kerut-kerut membuat keningmu hilang indahnya, dan hari ketujuh aku akan kembali mendatangi dengan sebuah pertanyaan berhari lalu: ”Bersediakah engkau menerima hati dan belati yang kubawakan untukmu?”
Bila hari itu engkau belum pula memiliki kata, maka aku akan mendatangimu tujuh hari kemudian, lalu pada hari ke-21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 77, 84, 91, 98, 105, 112, 119, 126, 133, 140, 147, 154, 161, 168, 175, 182, 196, 203, 210, 217, 224, 231, 238, 245, 252, 259, 266, 273, 280, 287, 294, 301, 308, 315, 322, 329, 336, 343, 350, 357, 364.
Lalu pada hari ke-365 aku akan berhenti, karena aku tahu, engkau tidak berkenan.
Tentu tubuhku terlalu bau dan kotor, meski wajahku tidaklah buruk, maka engkau menampik diriku. Tentu aku membawa persembahan yang tidak akan membawamu ke atas menara emas, maka engkau tapi-kan diriku. Tentu engkau mengharapkan seorang lelaki akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, meski engkau tahu akan disimpannya bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar-kamar rahasia dan engkau akan disetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan semata. Dengan kerakusan. Semata.
Namun aku bahagia karena hari ini suara Sang Kejahatan kalah memekakkan. Ia menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku.
Meski membuatku semakin pusing tiga belas putaran.
Kubawa sakit di kepala dan kakiku yang retak-retak kepanasan, mengelilingi tanah-tanah dan pasir-pasir dan debu-debu dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, mencari tempat menghadap laut untuk menanam hatiku yang merah dan tidak lagi berlumur darah di tangan kanan, dan belati mengkilat di tangan kiri.
Aku akan menunggumu di gerbang ruh-ruh abadi.