Menyusuri jalan kota malang yang masih diselimuti kabut, dingin menusuk
tulang dan sendiku. Kota asri dengan keramahan pendudukannya, seolah
menyambut siapa saja yang hendak singgah. Tapi kerinduan akan kota
pelajar ini tak bisa kubendung. Dudukku di trotoar alun-alun bunder
sambil pandangi gedung DPRD yang dulu penuh sesak oleh mahasiswa yang
memprotes kebijakan pemerintah. Tapi pagi ini, bangunan itu sepi,
berdiri kokoh dan angkuh. Dia menyimpan sejuta cerita yang tertulis rapi
dalam book storynya. Setelah berlari beberapa putaran, nafasku tak
cukup panjang lagi tuk lanjutkan jogging pagiku.
Masuki lobby hotel tugu, bergegas ku mengambil kunci kamar yang
kutitipkan pada recepsionis yang slalu tersenyum ramah, dibalut busana
batik, anggun sekali. Kurebahkan tubuh bersimbah keringat ini diatas
springbed empuk bercover pink-blue. Kurentangkan tanganku, kuhirup udara
pagi kota malang yang masuk dari jendela kamar hotelku yang sengaja
kubuka dan matikan ACnya. What a wonderfull city batin ku. Puas
beristirahat, ku basahi tubuh dengan air mawar yang tlah disiapkan oleh
room service. Nyaman banget, aroma lembut mawar berikan berjuta
ketenangan. Brendam sambil menikmati secangkir coffee latte hangat….
Ehm… what a life!
Jam 9.15 pagi bergegasku tinggalkan kamar hotel dan naiki taksi yg tlah
ku pesan sebelumnya. Duduk dibangku belakang sambil pandangin kota
Malang yang tak banyak brubah, kecuali banyaknya ruko berjejal
dispanjang jalan. Pasar pagi di stadion Gajayana tak lagi ada,
digantikan oleh mall yang berdiri megah.
Pasar pagi? Ehm…, spontan ku tersenyum. Ada banyak kisah manis disitu.
Tiba-tiba lagu melo Danial Sahuleka memecah lamunanku. Kuangkat telpon
dan menjawabnya ”Sampai mana Chie?” Tanya lelaki dengan suara beratnya.
“bentar lagi. Sabar ya” jawabku. “Pak kebut dikit ya” pintaku pada
sopir taksi.
Lima menit berselang, aq tlah sampai di depan rumah mungil bercat biru.
Stelah membayar taksi, kupencet bel rumah yg berbentuk sapi, mooow….
Mooow….bunyinya. Tak lama berselang sosok tinggi keluar, bukakan pintu
pagar lalu persilahkan aku masuk.
“mo minum apa?” tanyanya ramah beberapa detik setelah ku duduk disofa
putih gading miliknya. “air putih aja” jawabku singkat. “tamu jauh kok
cuma dapet air putih, coffee or some tea?” tanyanya lagi. Aku hanya
menggeleng menjawab niat baiknya.
Kupandangi punggung bidangnya yang berlalu mengambil segelas air. Sosok
yang pernah mengisi hari indahku. Lelaki yang tlah torehkan tinta emas
terindahnya dalam buku harianku yang hingga kini masih kusimpan rapi
dan kusembunyikan direlung hatiku yang terdalam. Melihat senyumanmu
yang suguhkan ketenangan dan kedamaian buat kerinduanku menyeruak,
berontak, dan tak terbendung. Kerinduan yang slama ini cukup terobati
hanya dengan mengingat tawamu dan hangatnya genggaman tanganmu.
Tak banyak yang brubah darimu, masih ganteng meski tak lagi muda. kamu
kini tlah menjelma menjadi sosok dewasa yang tetap sulit tuk ku elak.
kamu masih mempesona, lebih mempesona bahkan.
“mikir apa sih?” tanyamu buyarkan anganku sembari menyodorkan segelas
air. “nothing” jawabku singkat. Tak begitu lama, kami pun larut dalam
obrolan yang sbenarnya hanya basa basi semu sbelum masuki inti dari
maksud kedatanganku yang tak lain adalah pintamu beberapa hari yang
lalu.
Waktu itu, lewat tengah malam kau telpon aku, kau katakan betapa kau tak
bisa hidup tanpaku, betapa beratnya hari-hari yang kau jalani tanpaku,
betapa rapuh dan pongahnya dirimu. Kau ungkapkan betapa merindunya
dirimu. Kau juga bertutur tentang petualanganmu dengan beberapa wanita
yang katamu tak pernah bisa sesempurna aku dalam merenda kasih. Rasa
kecewa, haru, sedih, senang, juga bangga tersaji seketika. Memohonmu tuk
bisa temuiku, lima menit cukup ga lebih, pintamu kala itu. Aku yang
kan mencarimu, aku yang butuh kamu, aku yang bodoh, aku, aku, dan
berjuta aku terucap. Tapi sangat mustahil untukku bisa temuimu
dikotaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemuimu.
Ditengah obrolan hangat, tiba-tiba kau genggam tanganku. Kucoba tuk
menariknya. Tapi kerlingan matamu buatku luluh. Kubiarkan dan nikmati
genggamanmu sesekali kau mainkan jemariku. “I miss you” bisikmu “and I
still in love with u” lanjutmu. ”How can I live if apart of my soul was
jailed by your love? How can I breath freely if my lungs don’t have any
air to breath, cos the oxygen was tubed and taken away. And tell me,
how can I live normally if my heart was gone long time ago. He prefer
lives with u wether with his soul” ungkapan hatimu sambil tetap
menggenggam erat jemariku dan pandangiku penuh kelembutan. Ya tuhan,
Bantu aku untuk hentikan smua ini. Bantu aku untuk bisa tetap berdiri
dan bertahan dari cinta putih ini.
Tak banyak kata yang mampu kuucapkan, hanya beberapa kali kata “Sorry”
keluar dari bibir tipisku. “ aku pulang dulu ya, ntar malem dinner
dimana?” tanyaku mencoba alihkan topic pembicaraan dan mengganti suasana
yang tlah mengharu biru. Aku takut terlelap dan terbuai dalam mimpi
manis yang real ini. Hatiku pun ingin terlena tapi logikaku berkata
lain. Tapi kau hanya diam seribu bahasa. Hanya matamu yang coba
berbicara dan terus pandangiku. Ah…. Mata indah ini!
“Maaf ya” kata ku, sembari bergegas pergi. Tapi genggaman tanganmu
begitu erat. Tak ada daya tuk ku lepaskan, sbaliknya tiba-tiba kau tarik
aku dalam pelukmu. Kau memelukku beritu erat seolah inilah pelukan
terakhir yang kau miliki. Air mataku terurai. “Ar, aku pun merindu, aku
juga ingin bersamamu, tapi….” Aku tak mampu selesaikan kalimatku saat
tiba-tiba kau katakan, “I’m dying chie, I’m dying” katamu. Tak ku
mengerti kenapa tubuhmu bergetar hebat saat kau ucap kata itu.
Ya Tuhan gimme a clue. “Ar, apa yang salah? Kamu kenapa?” tapi kamu tak
mau menjawab apapun selain pelukanmu yang semakin erat. “ Arry,
honey….. look at me. Tell me what’s goin on?” pintaku. Sementara kau
hanya menggelengkan kepala.
“May I kiss your lips?” pintamu yang spontan buatku ingin lepas dan
berlari sejauh mungkin dari pelukanmu. “Chie, I know it’s wrong and I
know it’s the biggest sin I give to you, but….. Just once, please Chie. I
promise, it must be the last kisses” pintamu mengiba. Tak kupahami
diriku yang tlah terhipnotis kharismamu dan biarkanmu mencium bibirku
lembut dan mesra. Tersentakku ketika ku tahu kau menangis saat kau
menciumku.
“Ar, kamu sakit?” tanyaku beberapa menit kemuadian. “Apa yang kau
sembunyikan Ar” tanyaku lagi. “apa yang belum kau ungkapkan slain rasamu
yang terlalu padaku?” pintaku mencari kejujuran sembari duduk
didepannya. Tapi bibirmu terkatup rapat. Hanya senyum manis yang kau
berikan. “ kalo kamu ga mau ngomong, aku pulang aja ya” ancamku. Tapi
kamu tak bergeming, duduk terdiam dengan tatapan yang sulit untukku
artikan. “ bener nich, aku pulang ya!” ancamku dan mempertinggi nada
suaraku.
Kuambil tas ku dan berlalu dari hadapanmu. Tiba-tiba kau peluk aku dari
belakang, ciumi leher dan pundakku. “Arry!” bentak ku sambil
memberontak mencoba lepas dari rengkuhnya. “malu Ar, malu, apa kata
orang nanti!” lanjutku. “Ya Tuhan, tolong buat dia mendengarku, tolong
hentikan smua kegilaan ini” doaku. Berkali-kali ku coba lepaskan
pelukannya. Tapi, tubuh mungilku tak berdaya melawannya. Dari semula
ini adalah kesalahan besar. Tak seharusnya ku menemuimu, berbohong pada
anak dan suamiku, juga keluarga besarku. Apa yang kan suamiku lakukan
kalau dia lihatku begini. “Ya Tuhan bantu aku tuk lepas. Ampuni otak
udangku ya Robb” pintaku dalam hati.
Tak lama kemudian kau lepaskan pelukanmu, ketika tiba-tiba kau berdiri
diatas lututmu lalu berkata ”Ampuni aku yang bodoh ini ya, pukul aku
kalo kau mau. Tampar aku, biar ku bangun dan hidup kembali. Maki aku
semaumu. Aku memang gila. Mengharap sesuatu yang ga mungkin bisa aku
miliki. Khayalkan kehidupan padahal tubuhku tlah mati. Maaf ya, hasratku
terlalu padamu. Aku coba expresikan rasa yang skian lama ku pendam dan
tlah rasuki stiap jengkal tubuhku. Cintaku yang mendalam mengalir
dalam aliran darahku hingga begitu sulit tuk ku lepaskan. Kamu lebih
dari apa yang mampu kau fikirkan. Kamu sgalanya bagiku” kau berhenti
sejenak lalu mengambil nafas dalam-dalam” Tunggu ya, aku punya sesuatu
yang tlah lama aku siapin untuk kamu” rasa kesalku buatku tak bereaksi
atas pintanya. Tak kuhiraukan dia yang masih bersimpuh. “Chie, skali
ini aja, tolong dengarkan aku, ya…. Cantik!” rayumu buat ku luluh dan
tersenyum.
Kamu bergegas masuk kerumahmu, dan tak lama kemuadian kamu keluar
membawa bungkusan kado warna biru tua, berhias bunga mawar merah
diatasnya. “jangan dibuka sebelum kamu sampai Jakarta ya…! Janji ya…. “
pintamu. Aku mengangguk lalu meninggalkan rumahmu. “Chie! Panggilmu, “
aku anter ya” lanjutmu. “Ga usah, thanks ya” jawabku cepat. “please
Chie, ya… aku khawatir, ntar kamu kenapa-napa lagi?” argument mu buatku
tak punya pilihan kecuali iya.
Jarak rumahmu ke hotel Tugu tak terlalu jauh, ga sampai 15 menit. Tapi
laju mobilmu yang begitu pelan diiringi suara khas Sade Adu, serasa
melayang pada masa remaja ku dulu, masa indah yang kulalui bersamamu.
Raut bahagia terpancar jelas di matamu, sesekali kau belai lembut
rambutku, dan sesekali pula kau genggam erat tanganku dan menciumnya
mesra. Hatiku tertawa, kita tak ubahnya sepasang manuasia yang dimabuk
asmara. Tak kusadari kalau dari tadi mobilmu hanya berputar-putar
dijalanan depan hotel tugu. “ Ar, kita da sampe, mampir yuk” ajakku.
Kamu hanya tersenyum. “ soal dinner aku ga janji, tapi I’ll try the
best. Ntar aku kabari ya” katamu sebelum beberapa saat berlalu dengan
mercy new eyes mu.
Kumelangkah dengan hati berbunga skaligus rasa bersalah yang sama
kadarnya. “Sore mbak”, sapa pak satpam ramah. “sore juga pak” jawabku
sambil bergegas menghampiri resepsionis tuk mengambil kunci kamarku.
Sesampainya di kamar, kuletakkan kado Arry diatas nakas samping ranjang.
Pikiranku berkecamuk. Senang sedih, takut, bahagia tercampur jadi satu
dalam wadah kebimbangan.
Tiga jam berlalu begitu lambat. Berkali-kali kulihat jam tangan. Tak ada
tanda-tanda kehadiranmu. Tak jua sms ataupun telpon darimu. Kurebahkan
lagi tubuhku diatas springbed empuk ini sambil memeluk bantal,
kupandangi kotak kado dari Arry. “kira-kira apa isinya” rasa penasaranku
buatku tak indahkan janji yang kuucap. Perlahan ku buka bungkusnya.
Ada beberapa kertas dan sebuah kotak perhiasan disitu. Kuambil kotak
perhiasan dan membukanya, “wah…. Cantiknya” seruku. Sebuah cincin emas
putih bertahtakan berlian yang lumayan besar dan berkilau indah. “Tapi…
untuk apa dia memberiku cincin ini?” Tanyaku dalam hati. Kuambil
beberapa lembar kertas yang masih tertata rapi dalam kotak kado itu. Ya
tuhan, betapa terkejutnya aku saat ku baca kalau kertas kecil itu
berisi BPKB mobil dan STNK atas namaku beserta kuncinya, walau pajaknya
tlah mati. Kuambil lagi lipatan kertas kedua, ku buka dan ku baca
dengan cermat dan seksama. Ternyata lembaran ini berisi fotokopi
sertifikat tanah dan rumah yang juga atas namaku, beralamatkan tempat
tinggalnya. Rumah yang tadi aku singgahi. Rumah yang menyimpan banyak
kenangan manis dan terlalu indah untuk ku kenang. Kuambil satu lembar
kertas yang tersisa, tulisan tanganmu bertutur sperti ini:
“My lovely Chie, sorry kalau apa yang kuberikan ini membuatmu berfikir
dan bertanya-tanya. Hanya ini yang mampu kuberi padamu. Hanya dengan ini
ku tetap bisa menggenggam erat cintamu. Sertifikat tanah dan rumah
yang asli ada dinotaris, sertifikat ini hanya butuh tanda tanganmu
untuk mengesahkannya. alamatnya ada dimamaku. Kalau saatnya tiba,
beliau kan menghubungimu. Tolong, jangan ditolak ya. Soal cincin
berlian itu, anggaplah itu sebagai tanda dari ikatan benang merah hati
kita. Walau apapun yang terjadi benang merah ini akan tetap terikat
dijari manisku. Benang merah yang tlah terikat di jari manismu jangan
dilepas ya…. Biar ku bisa melihat dan merasakan kebahagiaan yang kau
rasakan. Biarku bisa memohon doa dan berimu semangat kala kau jatuh.
Cincin ini Cuma simbol, tak sebanding dengan cintaku padamu. Tak
sebanding dengan hasratku yang haus akan hadirmu.
Love you much Chie, my eternal love”
Air mataku mengalir deras bak Niagara. “Apa yang kau sembunyikan dariku
Ar?” Tanya hatiku. Kuambil handphone ku untuk menghubungimu. Tapi,
belum juga kugenggam handphoneku, Danial Sahuleka tlah berdendang merdu
“you make my world so colourfull, I’ve never had it too good, my love I
thank you for all the love you gave to me…..”
Kulihat siapakah yang menghubungiku, ternyata ini darimu. Ku jawab
telpon mu, tapi… kanapa seorang wanita dengan suara berat menahan tangis
yang menghubungiku? Siapa dia? “Chika, ini tante, mamanya Arry, kamu
dimana nak? Arry… Arry… “ Wanita paruh baya itu tak mampu merampungkan
kalimatnya. Tak lama seorang laki-laki dengan suara yang amat berat dan
parau melanjutkan penggalan kalimat tadi “Chika, bisa dateng kesini
nak, Arry… kritis, skarang ada di ICU di rumah sakit Beta, kamu tahukan
nak, sekarang ya sayang” laki-laki itu langsung mematikan telponnya.
Tanpa perduli seribu Tanya yang menjejali otakku. Aku lemas seketika.
“Arry!!!” teriakku dalam hati.
Aku bergegas menuju lobby hotel menitipkan kunci kamar dan memanggil
taksi yang kebetulan lewat didepan hotel “Rumah sakit Beta pak, cepet ya
pak!” kataku pada sopir taksi itu. Sesampainya dirumah sakit aku
berlari secepat mungkin tuk dapat melihatmu endless love ku, tak ku
hiraukan suster rumah sakit yang menegurku untuk tidak berisik dalam
rumah sakit.
Sampai diruang ICU, kulihat tante Leni yang tak hentinya menangis di
pelukan om Burhan-suaminya. “Om, tante… Arry gimana?” tak seorangpun
yang menjawab. Tante Leni lalu berdiri dan langsung memelukku. Tangisnya
tak terbendung lagi. Aku berusaha menenangkannya, walau seribu tanya
yang berkecamuk dihatiku belum terjawab. Kuajak tante Leni untuk duduk
kembali. Pelan-pelan kuulang kembali pertanyaanku tadi.
Tante leni masih larut dalam dukanya, sambil menepuk-nepuk punggung
tanganku, kemudian dia bercerita “ Arry kena kanker otak stadium lanjut,
dia bisa bertahan sampai sejauh ini merupakan keajaibanNya. Besarnya
cinta yang dia miliki membuatnya mampu bertahan. Dia ingin menjemput
impian. Tapi dua tahun yang lalu saat dia tahu kamu tlah menikah, dia
langsung drop. Kami harus membawanya ke Amerika waktu itu. Tapi tak
banyak yang berbeda, smangatnya yang berapi-api sirna sejak saat itu.
Kami trus berusaha tuk buat dia bangkit lagi. Hingga stahun lalu om
temukan alamatmu dijakarta. Kami sempat tinggal disana beberapa bulan.
Tak jarang juga om dan tante berhenti beberapa waktu didepan rumahmu,
menemani dia yang ingin melihatmu. Sejak itu dia mulai bangkit lagi. Aku
mau sembuh, aku ingin menemuinya, kata Arry penuh semangat waktu itu.
Makanya dia tak pernah berhenti berusaha sembuh, aku ingin terlihat
menarik didepannya, kata Arry lagi” tante berhenti sejenak, mengambil
nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya “saat
itu, tiga tahun lalu dia ajak tante kesebuah toko perhiasan di Jakarta.
Lama tante membantunya memilih-milih cincin yang pas dengan yang
diinginkannya. Chika suka yang simple ma.ucapnya. Tapi dalam perjalanan
pulang, tiba-tiba kepalanya sakit, kami memacu mobil kencang agar cepat
sampai dirumah. Tapi begitu tiba dirumah, dia pingsan cukup lama. Dan
akhirnya kami putuskan untuk membawanya kedokter, setelah melewati
beberapa tes, diketahui dia mengidap kanker otak. Dokter memfonisnya
takkan mampu bertahan lebih dari 3 bulan. Dia tak mau melihatmu sedih
dan menangis. Lebih baik kamu membencinya daripada membuatmu sedih
karena kematiannya. Oleh sebab itulah dia memilih memutuskan hubungan
kalian. Tapi seminggu yang lalu beberapa kali dia minta maaf sama tante
dan om, dia bilang kalau waktunya tak banyak lagi” tante lalu terdiam,
tertunduk lesu dan larut dalam duka yang mendalam. Cerita tante Leni
tentang anak semata wayangnya ini membuat ku lemas dan hancur. “Kenapa
tak kau katakan ini dari dulu Ar, aku bisa menjagamu, merawatmu. Aku
juga sayang ma kamu, hingga detik ini pun sesungguhnya ku pun masih
sangat menyayangimu” jerit hati kecilku yang sesalkan keputusanmu.
“boleh saya melihatnya tan” tanyaku yang kemudian dijawab dengan
anggukan om Burhan yang berusaha tetap tersenyum.
Memasuki ruang ICU, kulihat Arry yang terlelap dalam dunianya. Terbaring
lemah dengan berbagai slang dan alat Bantu yang menancap ditubuhnya.
Arry empat jam lalu kamu masih sehat. Empat jam lalu ku masih bisa
memelukmu, dan empat jam lalu ku masih bisa berbagi bersamamu. Kucoba
memelukmu walo terhalang oleh alat-alat yang buatku tak leluasa. Kuciumi
wajahmu, kubelai rambutmu yang begitu indah. “I love you Ar, I love
you” bisikku ditelingamu berharap kau mendengar dan menjawabnya. Kutarik
kursi yang ada didekat ranjang sempit ini. Kugenggam erat tanganmu.
Kuciumi berkali-kali. ”Ar, ini aku datang, aku Chie, your eternal love”
aku berhenti sejenak mengambil nafas dalam-dalam. “Ar, beri aku isyarat
kalo kau mengerti yang kukatakan?” lama aku larut dalam ceritaku yang
hanya aku pendengar skaligus penuturnya. Beberapa jam berlalu, aku
tertidur dengan tanganmu dalam genggaman. Tiba-tiba ku terbangun, sebuah
belaian lembut dirambutku. Sesekali mengelus tanganku. Ku angkat
tubuhku yang bersandar didekatmu. Dan betapa bahagianya aku, saat ku
tahu kamu tlah sadar dan tak terlihat sakit sedikit pun. Aku yang senang
campur haru menghujanimu dengan berjuta Tanya yang slama ini ku
pendam. Tapi kau hanya tersenyum lalu membenamkanku dalam pelukmu. Kau
tempelkan jari telunjukmu dibibirku sbagai isyarat agar ku diam. Sambil
memelukku tanganmu memainkan rambut panjangku. Sesekali kau cium
keningku dan bisikkan “I Love You” Air mataku tak berhenti mengalir,
basahi dadamu. Sesekali kau menarik nafas dalam-dalam. “berat ya?”
tanyaku. “ntar kamu cape lo, aku kan berat” lanjutku. “gapapa, aku ingin
terus memelukmu hingga saatnya tiba” jawabmu lirih. Kucoba untuk tetap
tersenyum, senyum termanisku. “Ya Tuhan, beri dia kesempatan tuk hidup
lebih lama lagi” doa hatiku. “dia terlalu baik, terlalu manis untuk
meninggalkan dunia ini” lanjutku dalam hati.
Beberapa menit kemudian nafasmu mulai tak teratur, detak jantungmu pun
begitu. Kupanggil om dan tante juga suster jaga. beberapa petugas rumah
sakit dan seorang lelaki paruh baya bergegas masuk. Kami dipersilahkan
keluar agar tak mengganggu pemeriksaan. Tapi kamu yang terus
menggenggam tanganku, dan panggil namaku meski kau mulai tak sadar
buatku hanya mampu bersimpuh disamping ranjang rumah sakit ini. Aku tak
tahu alam bawah sadarmukah yang berbicara ataukah memang dirimu yang
tersadar tapi tak mampu membuka mata. Berkali-kali kau ucap I love you
chie, I love you. Jangan tinggalin aku lagi ya. Aku hanya menganggukkan
kepala. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat. Genggaman tanganmu
melemah, kulepaskan pelan-pelan dan meletakkan tanganmu disamping
tubuhmu. Detak jantungmu mulai normal lagi, dan nafasmu juga tak lagi
tersengal-sengal. Kumelangkah pelan meninggalkan ruangan dingin ini.
“Chika” panggilmu lirih “ya” jawabku spontan.
“Kenapa kamu masih terjaga?” Tanya batinku, padahal dokter tlah
menyuntikan beberapa cc opium tuk buatmu tenang dan lepas dari rasa
sakit yang begitu hebat. “jangan pergi ya” Pintamu sembari mengulurkan
kedua tanganmu. Kupeluk tubuhmu yang mulai melemah. “titip papa mama ya,
dulu hanya aku yang mereka punya, sekarang jadilah putri papa dan mama
menggantikan posisiku” lanjut mu dengan suara pelan. “jangan ngomong
yang aneh-aneh ya, kamu pasti bisa sembuh dan bertahan” bantahku coba
berikan spirit padanya. “I love you so much Chie” katamu lagi. Kemudian
pelukanmu tak lagi erat, tak kudengar lagi detak jantungmu. Spontanku
berdiri, berteriak histeris dapati mesin monitor detak jantung
menunjukkan garis lurus. “Arry! Arry! Bangun Arry!” teriakku sambil
menggoyang-goyangkan tubuhmu. Paramedis berlari menghampirinya.
Dikeluarkan alat yang mirip setrika. Tubuhmu terguncang hebat saat alat
itu ditempelkan didadamu. Hal yang sama mereka lakukan berulang-ulang.
Hingga akhirnya mereka menyerah dan menggelengkan kepala. Suster cantik
berseragam putih itu lalu menarik selimut putih dan menutupkannya
diseluruh tubuhmu juga wajahmu. Dokter paruh baya itu tak berkata
apa-apa, hanya tepukan hangat dipundak om Burhan sebagai support dan
rasa prihatin. Tante lena menangis histeris, sementara aku tetap
menggenggam tanganmu meski tanganmu tlah menyilang diperutmu. Kubelai
dan kuciumi wajahmu. Kenapa harus berakhir seperti ini. “Aku ga butuh
rumah, mobil, atau apapun darimu Ar, aku ingin melihatmu hidup dan
bahagia. Love you Ar” bisikku ditelingamu beberapa detik sebelum petugas
membawamu ke ruang jenasah. Mempersiapkan perjalananmu pulang sebelum
kemudian disemayamkan. Tubuhku lemas, rasanya kakiku tak mampu menopang
tubuhku. Kurangkul tante Lena yang berjalan gontai. Malam ini
kuputuskan untuk menginap dirumah tante. Mencoba menguatkan hatinya.
Pagi ini dipemakaman keluarga sanak saudaramu, sahabat juga kerabat jauh
pun berkumpul, menghadiri pelepasanmu menuju keabadian. Acara
berlangsung dengan hikmat hingga acara itu selesai. satu persatu mereka
meninggalkan pelataran ini. Hingga hanya aku yang tersisa, duduk
sendiri, terpekur dalam doa. Entah ini hanya imagiku ataukah halusinasi,
kulihat bayangmu didepanku. Tersenyum manis lalu berkata, “jangan
nangis lagi ya, aku tak kan pernah jauh darimu, aku selalu disampingmu.
Bersama sang bayu yang bertiup lembut ditelingamu”. Aku tersentak!
Tiba-tiba bayanganmu menghilang. Hanya sepi yang kurasakan, aku berdiri
dan tinggalkan areal ini. Sesekali aku menoleh kebelakang. sampai
ketika hendak menaiki mabil yang membawa iringan keluarga, aku menoleh
lagi kebelakang, berharap masih dapat melihatmu. Tapi itu hanya
anganku. Perlahan iring-iringan mobil mulai menjauh, dan betapa
terkejutnya aku saat ku lihat sosokmu berdiri disamping pusaramu.
Sesampainya dihotel, aku langsung memesan tiket pesawat dengan
keberangkatan hari ini juga Kukemasi barangku, berharap secepat mungkin
tinggalkan kota indah ini. Membingkai apik catatan cinta putihku yang
sekian lama coba lupakan. Menata bait-bait puisi hati yang hancur karna
kepergianmu. Mencoba menyulam kembali kain cintaku yang tlah sobek dan
lapuk oleh waktu.
Selamat jalan Arry, slamanya kau kan jadi my endless love. Bantu aku tuk
menyembunyikannya ya, agar tak ada seorang pun yang kan terluka saat
mengetahui rasaku yang masih terlalu dalam padamu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar