Aku ingin menulis waktu. Akhirnya, kali ini. Sampai sudah. Setelah
perjalanan yang kadang melelahkan, kadang menjemukan, dan kadang-kadang
cuma sebatas kadang-kadang ini aku akhirnya sampai pada satu keinginan
yang begitu lama belum bisa terwujud.
WAKTU
Begitulah aku
mendengarnya, melihatnya, mengenalnya, dan barulah saat ini aku berani
menulisnya di sini, di sini, di halaman yang akan menjelaskan ini,
penjelasan subyektif seorang yang ingin.
Sudah lama aku
menguntitnya, aku menelusurinya, memikirkan berbagai macam teori-teori
ilmiah dan teori-teori sinting, ternyata dia tak ada di keduanya.
Belakangan
ini, ketika aku sadar bahwa aku sudah di depan, aku perlahan lupa
menoleh ke belakang, bahkan semakin parah lagi, aku lupa cara menoleh.
Belakangan ini aku hanya merangkai teks-teks yang sebenarnya mati, hanya
mata-mata yang membacalah telah menghidupkannya, terima kasih untukmu
wahai mata-mata yang begitu setia membaca, kau telah menghidupkan teks
ku.
Waktu bukan sebuah teori. Ia berjalan dengan sangat apatis.
Apatisme tertinggi ada pada waktu, bahkan sebegitu besar kau
menghargainya toh dia akan tetap berlalu dengan kecepatannya yang
konstan. Waktu adalah simbolis kesetiaan, di mana dia tidak melakukan
percepatan, dia tidak peduli pada energi-energi stimulus, dia akan setia
pada tugasnya. Waktu cuma satu, hanya saja jatah manusia berbeda, dan
kita mendapatkan perjalanannya sebagai jatah, bukan mendapatkan sebagian
darinya.
Tidak selalu definisi membuatmu mengerti. Seperti aku
padamu, aku pada waktu, kamu pada waktu, kita pada waktu, dan waktu
pada kita. Haruskah teori-teori meluruskan semuanya? Sementara waktu tak
pernah peduli, dia hanya setia pada hakikatnya.
Kita ini
makhluk, waktu tidak, meski ia bergerak, ia tak hidup, ia hanya
menghidupkan kita. Nyawa pun tak berarti tanpa perjalanan waktu, maka
aku mencintaimu seperti waktu, bukan menganalogikan cinta untuk
mengsusung romantisme dan idealisme. Hanya memberikanmu sebuah
penggambaran. Toh seperti tak selalu sama, bahkan tak akan pernah
sejajar, sementara analogi membuatmu mati pada usaha menyamakan dan
mensejajarkan.
Rangkaian aktivitas membutuhkan waktu, namun waktu
tak membutuhkan rangkaian itu, dia tak akan habis, dia selalu ada
sampai Tuhan betul-betul menghentikannya.
Untuk teks-teks yang dulunya mati, mata-mata membaca telah menghidupkannya, dan waktu yang telah menyempatkan semuanya.
Untuk
Matar yang selalu terasa, Gandi yang selalu ikut bersamaku, Silviana
yanng menggeliat, Diandra yang misterius, dam Silvika yang berwarna.
Maka nama hanya sebagian cara mengenalmu. Dan aku butuh waktu memberimu
nama juga mengenalmu.
Untuk tanda baca, kau membingungkan, namun aku refleks, aku bersimpati, aku sempat, karena waktu menyempatkanku.
Untuk
teks-teks yang berbahasa, atau hanya diam di tempat menunggu bahasa
membahasakannya, rupanya objektifitas itu gagal. Subyektifitas yang
majemuk justru membuatnya kaya.
Untuk mata-mata yang membaca, waktu telah menyempatkanmu, untukku yang menyematkan teks pada hatiku, waktu telah menyempatkanku.
Untuk pertemuan dan perpisahan, waktu telah menyempatkanmu.
Untuk kebearadaan, waktu telah mengadakan.
Hai......untuk yang lupa menoleh sepertiku. Aku mencintaimu, karena Tuhan telah mengizinkanku, dan waktu telah menyempatkanku.
Untuk kita yang masih sempat, waktu masih menyempatkan kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar