“Kita istirahat saja dulu di sini!” pintamu.
Aku yang berjalan tergesa berhenti mendadak. Menoleh ke arahmu.
Pandanganku jelas menikammu. Kau tampak kikuk. Namun bukan dirimu kalau
tak tersenyum. Peluhmu kau lap dengan telapak. Wajahmu isyaratkan
kelelahan.
“Marianti, kita harus cepat, sebentar lagi gumpalan pekat meraja.”
“Istirahat dulu, jangan paksakan menaklukkan perjalanan.”
“Perjalanan kita belum menepi, kenapa berhenti?”
“Kita kumpulkan tenaga dulu,” jawabmu penuh harap.
Kuikuti harapmu. Seperti
harapanku bertemu dengan ibu yang tak pernah lenyap dari ruang doaku.
Kepulanganku kali ini untuk mencium tangan dan bersujud di kakinya, agar
raib segala salah yang pernah kubingkiskan kepadanya.
Hari ini, setelah ribuan
musim akhirnya aku pulang. Keinginan pulang selalu jadi gelitik yang
terus memanja dalam diriku. Apalagi jika jelang Ramadan ataupun
awala-awal Ramadan seperti ini. Aku ingin selalu temui ibu yang mulai
rentah dan sakit-sakitan. Ia hidup sendiri setelah suami keduanya
meninggal.
Ibu memilih menikah lagi
setelah mengetahui ayah juga telah menikah. Pernikahan yang kedua,
kedua orang tuaku itulah, ibu yang dinikahi lelaki lain dan ayah yang
menikahi perempuan lain membuatku muak dan benci. Hanya saja kebencian
tersebut tak pernah kubahasakan kepada ibu. Aku lebih memilih pergi
meninggalkan kampung terpencil ini. Pernikahan tersebut telah jadi
cerita hitam yang berusaha kubungkus sedemikian rapat. Cemooh warga
adalah nyanyian yang memerahkan telinga. Peristiwa itulah yang
mengajakku melangkah dari kampung ini. Kampung yang diapit bukit-bukit
hijau. Saat itu, hidup merantau adalah jawaban dari kelakianku
sesungguhnya. Tak peduli akan kerja apa dan makan apa di rantauan. Tak
kupeduli juga jeritan ibu yang melarangku pergi. Sedangkan ayah sejak
menikahi perempuan yang dihamilinya di luar nikah tak pernah berkabar.
Perbuatan ayah tersebut membabat habis air mata ibu.
Dan kini, aku duduk di
tempat yang dulu selalu kusinggahi bersama ayah ketika pulang dari
kebun. Sebuah batu besar yang datar. Ayah yang berpeluh akan menunjuk
langit. “Kamu harus jadi langit, ia mengagumkan dan tak tersentuh. Tapi
jangan pernah membuat ibu menangis. Langit akan murka jika kau melakukan
itu.” Saat itu, aku hanya diam memperhatikan ayah yang serius.
Memperhatikan lekuk-lekuk di wajahnya yang mulai dijamah keriput. Tapi
akhirnya ayah jugalah yang mengajari ibu menangis. Makanya aku benci
ayah. Kata-katanya tak sesuai lakunya.
.
*******
“Deang Suddin, ayo kita
lanjutkan perjalanan, ibumu pasti tersenyum melihatmu pulang,” ujarmu
meleraiku dari lamunan. Bayangan ayah dan ibu mengabur. Aku tersenyum
padamu yang telah melepaskanku dari jerat kenangan pilu tersebut. Kau
selalu punya cara menjauhkanku dari rangkaian memar luka.
Sebenarnya, kejadian
bertahun-tahun silam itu telah mengajariku bersahabat dengan sepi dan
mencintai luka. Hingga tak ada seorang hawa yang bisa merasuk ke dalam
kehidupanku. Tapi kehadiranmu buatku terkesima. Di parasmu terpampang
ketegaran yang murni, di hatimu kutemukan ketulusan yang lama hilang.
Aku juga temukan perpaduan ibu dan ayah dalam dirimu. Mungkin karenanya
aku mudah takluk padamu. Tanpa sungkan kuceritakan semua beban yang
menimbunku ribuan musim. Kau orang pertama yang kuceritakan kisahku.
Kisah yang menuntun langkahku ke kotamu yang polusi. Dan berkat bujuk
rayumulah, maka sebelum Ramadhan kali ini aku pulang. Aku mengajakmu
pulang kampung menemui ibuku yang sebatangkara. Tentu ibu akan sangat
bahagia melihatmu.
“Daeng…kita adalah
keturunan yang menghargai orang tua, temui ibumu karena bapakmu tak
pernah kau tahu dimana. Maka temui dulu ibumu, nanti kita cari
bersama-sama ayahmu. Kamu harus minta maaf sebelum sesal merajammu lebih
ganas lagi.” Kata-katamu itulah yang meluluhkan egoku, hingga akhirnya
aku bersedia menemui ibu. Aku tak ingin Ramadan tahun ini kembali
menjadi Ramadan yang mengutus gelisah seperti puluhan Ramadan yang
lalu-lalu.
Ibu dan kamu adalah perempuan yang mengajaraku cinta. Ibu adalah pavarty
yang menjulang tinggi penuh kasih. Hijau yang menetralisir segala
polusi tingkahku yang aneh. Aku yakin doa ibu tak pernah kering.
Mendoakan kesehatan dan tentu saja kepulanganku, anak lelakinya dari
rantau. Yang juga pernah membuatnya menangis seperti ayah.
*******
“Masih jauh?” tanyamu.
‘Iya masih. Kira-kira setengah jam lagi perjalanan.”
“Oooo,” hanya itu
jawabanmu. Tak ada lelah dan penyesalan yang kudapati dari wajahmu,
meski peluhmu kembali membanjir. Aku jadi ingat ayah jika berpeluh dari
kebun. Dan ibu yang berpeluh di dapur menyiapkan makanan untuk ayah. Ibu
adalah perempuan setia dan pengertian yang pernah kusaksikan. Dan ibu
juga adalah keganasan yang tak terkalahkan. Itu terbukti ketika ia tahu
ayah telah menikah. Tanpa pikir panjang ia meminta cerai lalu menikah
juga. Ibu selalu saja mampu keluar dari sepi dan sakit hati yang
berlebihan.
Perjalanan yang menurun
dengan rumput liar di pinggirannya membuatmu berdecak kagum. Mengagumi
indahnya pemandangan. Jalan setapak ini tak ada yang berubah. Masih
seperti dulu ketika sering kutelusuri bersama ayah dan ibu. Hanya
sedikit bedanya karena ada beberapa baliho yang bertuliskan janji untuk
kesejahtraan rakyat.
Setengah jam kemudian,
kita akhirnya sampai di rumah panggung yang ditinggali ibu. Aku berlari
ke atas, meninggalkanmu di anak tangga pertama. Salamku disambut serak
seorang perempuan tua. Itu pasti ibuku. Setelah pintu terkuak, aku
menghambur kepelukannya, mencium tangannya dan bersujud di kakinya. Aku
lupa memperkenalkanmu sebagai menantunya yang kunikahi tanpa
sepengetahuannya. Maaf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar