Enam bulan dua puluh empat
hari telah berlalu di tahun ini. Itu artinya tak ada perubahan dalam
kehidupanku selama enam bulan dua puluh empat hari ini. Aku masih saja
blangsak di awal tahun, dana yang kusiapkan untuk mengawali tahun seolah
tak pernah cukup sehingga aku harus tambal sulam untuk memenuhi
kebutuhanku selama bulan-bulan ini.
Entah karma mana yang mengiringiku setiap tahun sehingga aku harus terperosok di lubang yang sama. Lagi, lagi dan lagi.
Walaupun seiring waktu semua itu akan berlalu, namun tetap saja hal ini menguras pikiran dan perasaanku.
Tahun ini adalah tahun kelima
aku menjadi single parents. Lima tahun lalu dengan mengumpulkan seluruh
keberanianku, aku memutuskan untuk berpisah dari cinta pertamaku,
belahan jiwaku, dan sandaran hidupku.
Aku memutuskan berpisah ketika
mengetahui rumah tangga yang kubangun tidak lagi dipenuhi dengan cinta
yang utuh. Pengkhianatan, perselingkuhan menjadi menu sehari-hari
kehidupan perkawinanku. Selama lima belas tahun aku mencoba bertahan,
namun ketika pengkhianatan sudah dilakukan secara terang-terangan, aku
tak bisa tahan lagi.
Kami bertarung setiap saat.
Rumah yang dulu teduh kini berubah jadi neraka. Aku terluka, aku marah
meski pada saat yang sama aku juga menyadari bahwa keberadaan cinta tak
pernah bisa dipaksakan. Setiap orang bisa berhenti mencintai dan lalu
memulai lagi cinta yang baru dengan orang lain lagi. Kesadaran itulah
yang akhirnya menguatkanku untuk berpisah dan mengakhiri perkawinan ini.
Lalu dengan hanya membawa
sisa-sisa harga diriku yang telah hancur aku melangkah, melanjutkan
hidup sendiri. Aku mencoba tegar, meski sesungguhnya tidak. Pelan-pelan
aku mencoba stabilkan kehidupanku.
Namun kehidupan perekonomianku
tak pernah lagi stabil. Dengan pendapatan yang sama dari tahun ke tahun
aku harus membiayai kebutuhan keluargaku yang terus meningkat. Aku belum
mempunyai akses untuk memperoleh tambahan penghasilan, meskipun aku
mencoba terus mencari. Aku juga tidak bisa mengharapkan bantuan dari
mantan suamiku karena ia telah mempunyai keluarga baru.
Kehidupan cintaku juga seperti
mati suri, tak ada perkembangan yang berarti. Perasaanku yang rapuh
membuat setiap hubungan yang kubangun tak pernah maju. Hanya karena satu
kesalahan kecil, hubungan yang terjalin baik tiba-tiba saja bisa
menjadi sesuatu yang memuakkan. Dan itu tak pernah dapat kuhindari. Aku
jadi membenci pasanganku, lalu kemudian membenci diriku sendiri. Dan
hubungan pun berakhir.
Satu hal lagi, otakku sudah
terpola selama belasan tahun dengan perhatian menyeluruh dari mantan
suamiku sebelumnya. Dengan demikian setiap kali aku membangun satu
hubungan cinta, tanpa kusadari aku mencari kesamaan atau keunggulan dan
membandingkan antara mantan suamiku dengan pasangan baruku. Dan ketika
aku menemukan sesuatu yang tidak sesuai atau lebih buruk maka perasaan
tertarikku pada pasanganku mulai berkurang dan akhirnya hilang sama
sekali.
Pagi ini aku mulai menghitung,
seberapa banyak yang telah kulakukan untuk bisa membahagiakan aku.
Mengapa aku merasa terjebak dalam situasi ini.
Aku sedang antri untuk
melaporkan kartu ATMku yang tiba-tiba raib di sebuah Bank Swasta. Saat
itu aku sendirian duduk si sebuah sofa yang disediakan. Aku memperoleh
no. 13, dan kulihat di layar monitor bahwa petugas sedang melayani
pelanggan no. 11. Para pengantri bertambah banyak. Di sofa tempatku
duduk, seorang pria setengah baya menanti antrian, ia terlihat tak
sabar. Diketuk-ketukkannya jarinya di pegangan sofa. Berkali-kali aku
melihatnya menarik nafas panjang lalu melepaskannya. Wajah kerasnya
kelihatan begitu menarik. Aku memperhatikannya lebih seksama.
Saat aku memperhatikannya,
tiba-tiba saja ia bertanya “Nomor berapa Mbak?” Aku terkejut dan sempat
tertegun sebentar karena tak mengira akan ditanya. Semoga saja ia tak
menyadari bahwa aku sedang menilainya. “tiga belas.”jawabku. “Nomorku
21, jika Mbak tak keberatan, bolehkah saya bertukar nomor. Saya harus
mempresentasikan pekerjaan saya 30 menit lagi, sementara antrian ini
masih begitu panjang. Maukah Mbak menolong saya, plis…”Jelasnya.
“Mengapa Anda datang sekarang
jika tak mempunyai waktu yang cukup?” tanyaku dengan suara sedikit
ketus. “Semula aku kira waktuku cukup, ternyata tidak, tapi tanggung
juga jika tidak berhasil menyelaesaikannya. Jika Mbak menolongku, aku
pasti selamat.”
Aku memandangi matanya, kami
saling bertatapan. “Tiga belas” teriak petugas bank. Aku segera
memberikan nomorku kepada pria bermata teduh itu. “Thanks” Jawabnya
sambil bergegas menuju counter.
Mataku tak lepas darinya, ia
kelihatan begitu matang. Bahu dan dadanya yang bidang seolah mengundang
para wanita untuk berlabuh dan menyandarkan hidupnya. Aku masih
memandanginya saat ia selesai dengan urusannya. Ia mendatangiku kembali,
kemudian menyalamiku. “Aku Abe, terima kasih telah menjadi juru
selamatku. Ini kartu namaku, jika mbak tak keberatan silakan hubungi
saya. Sampai jumpa.”Katanya.
Kupandangi kartu nama ini di
genggamanku. Kubaca dan kulavalkan perlahan. Pria yang menarik pikirku.
Kusimpan kartu nama itu di dalam dompetku, meski aku tak punya niatan
sama sekali untuk menghubunginya. Aku pun duduk manis sambil menunggu
giliranku berikutnya.
Pesta hari ini begitu meriah.
Berbeda dengan resepsi pernikahan masyarakat Indonesia, resepsi
pernikahan masyarakat keturunan India banyak diisi dengan berbagai
hiburan yang mewakili budaya mereka. Mulai dari upacara mengelilingi api
bagi kedua mempelai hingga tarian dan nyanyian dipertunjukkan di
resepsi ini. Seluruh Undangan hadir dengan busana khas India yang
dilengkapi dengan aneka payet dan sekuen. Selendang lebar dab sari
berwarna-warni melambai di bahu-bahu telanjang para wanita. Para pria
tampil dengan tuxedo ataupun pakaian tradisoinal India seperti yang
biasa dipakai Shahrukh Khan.
Tak ada manusia jelek saat itu.
Semua terlihat bagus dan mewah. Tak ada antrian panjang di
counter-counter makanan. Makanan dan ragamnya begitu berlimpah dan
tampaknya masyarakat India dari kalangan ini tidak terfokus pada makanan
saat berpesta.
Sendirian aku memasuki Ballroom
sebuah hotel mewah. Seusai mengisi buku tamu, aku langsung masuk ke
dalam area pesta. Dalam pesta pernikahan India, undangan tidak harus
memberikan amplop kepada mempelai, seperti tradisi dalam resepsi
pernikahan di Indonesia. Bahkan buku tamu pun tidak selalu ada. Jadi
kehadiran kitalah yang paling penting. Aku memandang ke depan ke tempat
upacara pernikahan sedang berlangsung. Aku berjalan perlahan, beberapa
pasang mata di kiri kananku menatapku tajam. Di tempat seperti ini aku
selalu menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena cantik, namun karena
aku memang berbeda dengan mereka. Meski aku sama-sama mengenakan
pakaian tradisional saree, namun aku bukan keturunan India. Yang belum
mengenalku biasanya heran melihat keluwesanku dalam mengenakan saree
sehingga aku selalu menjadi pusat perhatian di situasi seperti itu. Dan
itu selalu saja terjadi, dan anehnya aku selalu menikmati.
Aku bertemu dengan
kenalan-kenalanku setelah terlebih dulu memberikan ucapan selamat kepada
kedua mempelai dan kedua pasang orang tua mereka yang salah satunya
merupakan bosku.
Aku sedang memilih-milih aneka
salad saat pria di sebelahku menyapaku “Hai, kita jumpa lagi kan.
Perasaanku bilang aku pasti bisa bertemu lagi denganmu suatu hari, dan
aku benar. Senang berjumpa lagi” sapanya sambil mengulurkan
tangannya.”Apa kabar dewi penyelamatku?” tanyanya sambil tertawa.
Tawanya benar-benar meluluhkan hati. “Baik jawabku, sukses
presentasinya?” tanyaku sambil tersenyum. “Ya, berkat kamu dewi
penyelamatku” jawabnya.
“Kau benar-benar seperti dewi
yang baru saja turun dari khayangan, saat kau berjalan sendiri memasuki
ruang ini, semua mata seolah tersihir ke arahmu. Sarimu melambai,
rambutmu tertiup lembut, aku belum pernah melihat wanita seanggun ini .
Sari biru putihmu benar-benar membungkusmu dengan sempurna.” , Kau
benar-benar mengalahkan keanggunan wanita India.” Puji pria itu seolah
tanpa akhir. Meski orang lain juga memujiku, namun pujian dari Abe
benar-benar membuatku tersipu.
“Hei, mana partnermu?” Aku bertanya karena melihat Abe sendirian saat menyapaku. “Ah, seperti kamu aku juga sendirian.”
Akhirnya kami bergabung, aku tak
mengira Abe banyak mengenal para undangan lainnya sebanyak aku mengenal
mereka. Beberapa undangan yang baru tiba mengira aku pasangan Abe.
Menurut mereka kami terlihat kompak dan romantis dan itu benar-benar
membingungkan kami.
Ini adalah pertemuan keduaku
dengan Abe, namun aku sudah merasa nyaman berada di sampingnya sepanjang
pesta itu. Kenyamananku itulah yang mungkin terlihat oleh orang lain
sehingga kesannya jadi romantis. Abe menjelaskan kepadaku sekilas bahwa
saat ini ia sedang tak menjalin hubungan dengan siapapun. Istrinya telah
meninggal dua tahun yang lalu karena tumor di otaknya dan sejak itu ia
belum lagi ingin menjalin hubungan asmara apalagi sampai harus terikat.
Kini ia membesarkan seorang putri berusia enam tahun.
Pesta berlangsung hingga pukul 2
pagi, tepat tengah malam tadi Abe memintaku untuk memberi tahu sopir
kantorku untuk pulang karena Abe akan mengantarku pulang. Jadi ketika
pesta usai aku menunggu Abe di lobby. Aku melambai pada beberapa
kenalanku yang kebetulan lewat. Beberapa dari mereka menawarkan
tumpangan yang dengan halus kutolak.
Abe tiba di lobby sepuluh menit
kemudian. Tubuh tegapnya keluar kemudian memutari kendaraannya dan
membukakan pintu penumpang untukku. Abe membantuku menaiki kendaraannya
karena ternyata sulit menaiki kendaraan itu dengan mengenakan sari.
Abe mengendarai kendaraannya
pelan. Sepanjang perjalanan ia begitu tenang padahal jalan begitu sepi.
Aku menghargainya untuk itu. Aku tak pernah suka dengan pria yang
mengendarai kendaraannya dengan srudak- sruduk, berzigzag ataupun
menyalip-nyalip hingga membahayakan orang lain. Abe tidak seperti itu
tampaknya. Abe mengendarai kendaraannya dengan mantap dan stabil.
“Apakah kau selalu hadir di
resepsi seperti ini?” Tanya Abe. “Ya, aku menemukan sensasi di
acara-acara seperti ini” jawabku. “Hai, sensasi, apa maksudmu
Dewi?”sahut Abe. Abe berkeras memanggilku Dewi, meski aku telah
memberitahu namaku. Menurutnya aku benar-benar seorang Dewi di matanya.
“Acara-acara ini selalu unik. Aku harus mempersiapkannya dan perlu waktu
lama. Aku harus tampil sama cantiknya dengan mereka. Aku bebas menggali
kecantikanku tanpa harus kelihatan berlebihan. Coba kamu bayangkan jika
aku mengenakan gaya ini di pesta-pesta Indonesia, pasti aneh dan
terkesan berlebihan kan? Ada sensasi yang nikmat saat semua orang
memandangmu dan terkagum-kagum.” Paparku. “Wow, kau suka jadi pusat
perhatian haa?” sahut Abe diiringi tawanya. “Apa salahnya?”Jawabku
sambil tertawa juga. Kami saling berbicara selama sisa perjalanan menuju
kediamanku.
Hari menjelang pukul tiga pagi,
sebentar lagi fajar menyingsing. Anehnya aku belum merasa mengantuk
padahal biasanya sehabis pesta aku langsung tertidur sehingga sopir
kantorku akan membangunkanku sesampainya aku di rumah. Namun kali ini
Abe tak perlu membangunkanku. Aku masih terjaga saat Abe membukakan
pintu mobilnya. Kali ini Abe membantuku turun dari mobilnya. Abe
menggenggam tanganku kemudian mengangkatnya dan menciumnya. Jantungku
berdebar seolah aku adalah gadis belasan tahun yang baru pertama kali
bertemu pria pujaaannya. Abe kembali memasuki mobilnya, “Sampai jumpa!”
ucapnya.
Sambil membuka pintu rumahku
anganku melayang. Suara Abe saat mengucapkan salam perpisahan masih
terekam jelas dalam otakku. Sampai jumpa, itulah ucapan Abe di dua kali
perpisahan kami. Dengan kata itu seolah Abe ingin menegaskan bahwa ia
berharap akan ada lagi pertemuan.
Kumasuki kamarku. Kulepaskan
seluruh pakaian dan perhiasan dan meletakkannya di lemari khusus. Karena
aku sering diundang di acara-acara masyarakat India, maka aku mempunyai
banyak koleksi pakaian tradisional India seperti saree lengkap dengan
pernak-pernik perhiasannya. Aku membelinya saat aku mendampingi bosku
melakukan perjalanan dinas ke India.
Setelah berganti pakaian aku
keluar kamar memeriksa keadaan anak-anakku di kamarnya masing-masing.
Memperbaiki posisi selimut yang tak menutupi tubuh, mengangkat bantal
yang terjatuh dari tempat tidur, dan mematikan televisi yang masih
menyala dan mencium kening mereka satu per satu.
Kupandangi bungsuku, begitu
lembut. Saat memandanginya, adakalanya aku merasa berdosa telah
memisahkan anakku yang ini dengan papanya. Kupikir ia masih terlalu
kecil untuk dapat memahami kondisi ini. Hingga saat ini ia tak mempunyai
figur seorang ayah. Sejak berpisah, papanya tak pernah mengunjunginya
lagi. Aku sendiri tak pernah mengira akan seperti ini. Semula kukira
Hubungan ayah anak tak akan pernah terputus, namun ternyata setelah
pengadilan mengesahkan perceraian kami, hubungan itu benar-benar
terputus. Mantan suamiku seperti menghilang dari tanggung jawabnya. Aku
hanya mendengar sekilas bahwa ia telah membangun keluarga baru.
Aku berjalan keluar dari kamar
si bungsu sambil berjanji bahwa aku tak akan pernah mengecewakan
anak-anakku terutama si bungsu. Segala keperluannya akan kupenuhi. Aku
akan mencurahkan seluruh perhatianku untuk mereka. Aku akan mencoba
menutupi ketidaklengkapan ini.
Kurebahkan tubuhku di tempat
tidurku. Aku masih punya waktu satu setengah jam untuk tertidur.
Sebentar lagi subuh aku harus kembali bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Kupikir-pikir inilah kelemahan acara-acara masyarakat India. Mereka
selalu menyelenggarakan pesta pada hari baik mereka yang jarang sekali
jatuh pada malam libur. Padahal acara tersebut berlangsung sampai pagi.
Buat masyarakat India umumnya itu tak jadi soal karena jam kerja mereka
dimulai pada waktu menjelang siang, namun bagi orang seperti aku itu
lumayan mengusik pola hidupku karena keesokan paginya aku masih harus
bekerja seperti biasa.
Jadi, pagi ini dengan mata yang
masih sedikit mengantuk aku tiba di kantorku. Agak lega sedikit karena
pimpinanku hari ini masih cuti setelah melaksanakan hajatnya semalam.
Duduk di kursiku, menyalakan computer. Membuka agenda, menjadwal seluruh
pertemuan untuk esok dan mengkonfirmasi seluruh jadwal ke perusahaan
rekanan.
Seluruh pekerjaanku selesai
tepat menjelang jam makan siang. Aku baru saja meluruskan pinggangku
ketika aiphone di mejaku berdering. Kulihat kode yang tertera di layar
monitor, front office. Kutekan tombolnya, terdengar sebuah suara”Bu, ada
tamu yang menjemput Ibu.” Katanya.”Menjemput saya, saya tak punya janji
Sofie.” Jawabku. Samar aku mendengar Sofie bicara dengan tamu tersebut.
“Maaf Ibu tapi tamu ini berkeras bilang sudah ada janji untuk makan
siang dengan Ibu, namanya Pak Abe”jelasnya.
Aku terperangah tak mengira
dapat bertemu lagi dengan Abe secepat ini. Bayangan pria inilah yang
menemaniku hingga aku jatuh tertidur pagi tadi. “Oke, baik minta beliau
tunggu sebentar. Saya akan segera turun” kataku. Setelah sedikit
merapikan diri di toilet, aku pun turun. Aku benar-benar tak mengira Abe
akan datang ke kantorku. Dengan dada berdebar aku menjumpai Abe.
Abe menghampiriku “Belum makan
kan?”tanyanya sambil tangannya meraih tanganku. Ia membimbingku menuju
mobilnya. Abe mengenakan kemeja putih bergaris biru samar dengan dasi
biru bermotif putih. Celananya biru gelap dengan sepatu hitam mengkilat.
Ia tampak begitu memikat sebagai seorang eksekutif muda.
“Aku atau kau yang pilih
tempatnya?” tanyanya. “Kau saja yang pilih, aku masih shock dengan
pertemuan ini.” Jawabku sambil tersenyum. Abe membawaku menuju Hotel
Borobudur. Di sana kami menuju Ramayana Restaurant. Aku tak tahu
mengapa Abe memilih restaurant ini. Seolah Abe tahu tempat ini adalah
tempat favoritku. Biasanya aku kemari bersama teman-teman wanitaku dan
menu favorit kami adalah sop buntut. Kami disambut pelayan yang
mengenakan batik dan ditempatkan di sudut ruang.
“ini adalah tempat favoritku.”
Jelasku pada Abe “Kita bisa memperhatikan orang yang keluar masuk resto
ini tanpa ia tahu bahwa kita memperhatikannya. Dan kau tahu, kami selalu
membuat jokes atas penampilan mereka. Dari masyarakat umum, pengusaha,
bintang film semua kami komentar rasanya menyenangkan sekali. Sangat
menghibur” Jawabku sambil tertawa.
“Bagaimana bisa kita mempunyai
tempat favorit yang sama ya?”komentar Abe tak percaya. Pramusaji
memberikan buku menu dan bertanya apakah kami akan memesan menu saat
ini. Aku memesan Sop Buntut goreng, sedangkan Abe memesan Tomyam Udang
dan Satu teapot Teh panas untuk kami berdua.
Setelah pesanan kami datang,
kami segera menyantapnya. Kami menghabiskan santapan kami dalam waktu 20
menit. Aku menutup makan siangku dengan menikmati seiris cake coklat
dan secangkir kopi sedangkan Abe hanya minum secangkir capucino. Setelah
menyelesaikan pembayaran kami beranjak pergi. Abe mengantarku kembali
ke kantor.
Waktu menunjukkan pukul 13.00
ketika aku tiba kembali di ruang kantorku. Setumpuk surat yang baru tiba
ada di atas mejaku. Aku menyortir surat-surat tersebut berdasarkan
peruntukan dan kepentingannya. Aku duduk dan mulai mengamati surat-surat
tersebut. Memisahkan antara surat pribadi bos dengan surat-surat
perusahaan. Kemudian aku akan mulai membalas surat-surat yang perlu
dibalas.
Pukul lima pun tiba. Aku segera
menghentikan pekerjaanku. Abe meneleponku, menanyakan apakah aku sudah
selesai dengan pekerjaanku. Aku bergegas turun. Abe telah menunggu di
lobby, ia segera membukakan pintu mobil dan membantu menutupnya.
Abe membawaku ke arah pantai,
matahari begitu indah. Pelan-pelan tenggelam meninggalkan siluet di
rupa kami. ”Maukah kau menikah denganku?” tanya Abe
Aku terdiam. Dalam diamku
tiba-tiba saja melintas sebuah pernikahan yang berakhir kacau balau.
Pernikahan yang berisi air mata karena dikhianati. Pernikahan yang
selama ini telah menghancurkan seluruh cita-citaku.
Abe menatapku tajam”kita layak
mencoba, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti jika
kita tak mencoba.” papar Abe
Aku masih terdiam, terbayang
wajah anak-anakku yang kucintai. Wajah-wajah itu menyemangati aku.
Kupandangi wajah Abe, kesungguhan Abe. Yang inni nampaknya benar-benar
berbeda.
“Ya, aku mau.” jawabku
Kuterima lamaran Abe setelah
berkenalan hanya selama dua hari. Aku benar-benar tak peduli karena
sebelumnya aku pun gagal meski telah mengenal mantanku selama enam
tahun. Yang paling menyakitkan telah bisa aku lalui. Jadi, siapa takut…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar