blank

hhh"/> hhh"/>
rakiz_blank. Diberdayakan oleh Blogger.

diantaramoe

My Slideshow: Diantaramoe’s trip to Bali, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Bali slideshow. Create your own stunning slideshow with our free photo slideshow maker.

claver's

Logo Design by FlamingText.com
Logo Design by FlamingText.com
Read more: http://epg-studio.blogspot.com/2010/03/mengganti-penampilan-kursor.html#ixzz1zkrh3e3n
RSS

Sabtu, 28 Juli 2012

Mengenalmu 2X24 Jam, Kuterima Lamaranmu Sayang



Enam bulan dua puluh empat hari telah berlalu di tahun ini.  Itu artinya tak ada perubahan dalam kehidupanku selama enam bulan dua puluh empat hari ini. Aku masih saja blangsak di awal tahun, dana yang kusiapkan untuk mengawali tahun seolah tak pernah cukup sehingga aku harus tambal sulam untuk memenuhi kebutuhanku selama bulan-bulan ini.
Entah karma mana yang mengiringiku setiap tahun sehingga aku harus terperosok di lubang yang sama. Lagi, lagi dan lagi.
Walaupun seiring waktu semua itu akan berlalu, namun tetap saja hal ini menguras pikiran dan perasaanku.
Tahun ini adalah tahun kelima aku menjadi single parents. Lima tahun lalu dengan mengumpulkan seluruh keberanianku, aku memutuskan untuk berpisah dari cinta pertamaku, belahan jiwaku, dan sandaran hidupku.
Aku memutuskan berpisah ketika mengetahui rumah tangga yang kubangun tidak lagi dipenuhi dengan cinta yang utuh. Pengkhianatan, perselingkuhan menjadi menu sehari-hari kehidupan perkawinanku. Selama lima belas tahun aku mencoba bertahan, namun ketika pengkhianatan sudah dilakukan secara terang-terangan, aku tak bisa tahan lagi.
Kami bertarung setiap saat. Rumah yang dulu teduh kini berubah jadi neraka. Aku terluka, aku marah meski pada saat yang sama aku juga menyadari bahwa keberadaan cinta tak pernah bisa dipaksakan. Setiap orang bisa berhenti mencintai dan lalu memulai lagi cinta yang baru dengan orang lain lagi. Kesadaran itulah yang akhirnya menguatkanku untuk berpisah dan mengakhiri perkawinan ini.
Lalu dengan hanya  membawa sisa-sisa harga diriku yang telah hancur aku melangkah, melanjutkan hidup sendiri. Aku mencoba tegar, meski sesungguhnya tidak. Pelan-pelan aku mencoba stabilkan kehidupanku.
Namun kehidupan perekonomianku tak pernah lagi stabil. Dengan pendapatan yang sama dari tahun ke tahun aku harus membiayai kebutuhan keluargaku yang terus meningkat. Aku belum mempunyai akses untuk memperoleh tambahan penghasilan, meskipun aku mencoba terus mencari. Aku juga tidak bisa mengharapkan bantuan dari mantan suamiku karena ia telah mempunyai keluarga baru.
Kehidupan cintaku juga seperti mati suri, tak ada perkembangan yang berarti. Perasaanku yang rapuh membuat setiap hubungan yang kubangun tak pernah maju. Hanya karena satu kesalahan kecil, hubungan yang terjalin baik tiba-tiba saja bisa menjadi sesuatu yang memuakkan. Dan itu tak pernah dapat kuhindari. Aku jadi membenci pasanganku, lalu kemudian membenci diriku sendiri. Dan hubungan pun berakhir.
Satu hal lagi, otakku sudah terpola selama belasan tahun dengan perhatian menyeluruh dari mantan suamiku sebelumnya. Dengan demikian setiap kali aku membangun satu hubungan cinta, tanpa kusadari aku mencari kesamaan atau keunggulan dan membandingkan antara mantan suamiku dengan pasangan baruku. Dan ketika aku menemukan sesuatu yang tidak sesuai atau lebih buruk maka perasaan tertarikku pada pasanganku mulai berkurang dan akhirnya hilang sama sekali.
Pagi ini aku mulai menghitung, seberapa banyak yang telah kulakukan untuk bisa membahagiakan aku. Mengapa aku merasa terjebak dalam situasi ini.
Aku sedang antri untuk melaporkan kartu ATMku  yang tiba-tiba raib di sebuah Bank Swasta. Saat itu aku  sendirian duduk si sebuah sofa yang disediakan. Aku memperoleh no. 13, dan kulihat di layar monitor bahwa petugas sedang melayani pelanggan no. 11. Para pengantri bertambah banyak. Di sofa tempatku duduk, seorang pria setengah baya menanti antrian, ia terlihat tak sabar. Diketuk-ketukkannya jarinya di pegangan sofa. Berkali-kali aku melihatnya menarik nafas panjang lalu melepaskannya. Wajah kerasnya kelihatan begitu menarik. Aku memperhatikannya lebih seksama.
Saat aku memperhatikannya, tiba-tiba  saja ia bertanya “Nomor berapa Mbak?” Aku terkejut dan sempat tertegun sebentar karena tak mengira akan ditanya. Semoga saja ia tak menyadari bahwa aku sedang menilainya. “tiga belas.”jawabku. “Nomorku 21, jika Mbak tak keberatan, bolehkah saya bertukar nomor. Saya harus mempresentasikan pekerjaan saya 30 menit lagi, sementara antrian ini masih begitu panjang. Maukah Mbak menolong saya, plis…”Jelasnya.
“Mengapa Anda datang sekarang jika tak mempunyai waktu yang cukup?” tanyaku dengan suara sedikit ketus. “Semula aku kira waktuku cukup, ternyata tidak, tapi tanggung juga jika tidak berhasil menyelaesaikannya. Jika Mbak menolongku, aku pasti selamat.”
Aku memandangi matanya, kami saling bertatapan. “Tiga belas” teriak petugas bank. Aku segera memberikan nomorku kepada pria bermata teduh itu.  “Thanks” Jawabnya sambil bergegas menuju counter.
Mataku tak lepas darinya, ia kelihatan begitu matang. Bahu dan dadanya yang bidang seolah mengundang para wanita untuk berlabuh  dan menyandarkan hidupnya. Aku masih memandanginya saat ia selesai dengan urusannya. Ia mendatangiku kembali, kemudian menyalamiku. “Aku Abe, terima kasih telah menjadi juru selamatku. Ini kartu namaku, jika mbak tak keberatan silakan hubungi saya. Sampai jumpa.”Katanya.
Kupandangi kartu nama ini di genggamanku. Kubaca dan kulavalkan perlahan. Pria yang menarik pikirku. Kusimpan kartu nama itu di dalam dompetku, meski aku tak punya niatan sama sekali untuk menghubunginya. Aku pun duduk manis sambil menunggu giliranku berikutnya.
Pesta hari ini begitu meriah. Berbeda dengan resepsi pernikahan masyarakat Indonesia, resepsi pernikahan masyarakat keturunan India banyak diisi dengan berbagai hiburan yang mewakili budaya mereka. Mulai dari upacara mengelilingi api bagi kedua mempelai hingga tarian dan nyanyian dipertunjukkan di resepsi ini. Seluruh Undangan hadir dengan busana khas India yang dilengkapi dengan aneka payet dan sekuen. Selendang lebar dab sari berwarna-warni melambai di bahu-bahu telanjang para wanita. Para pria tampil dengan tuxedo ataupun pakaian tradisoinal India seperti yang biasa dipakai Shahrukh Khan.
Tak ada manusia jelek saat itu. Semua terlihat bagus dan mewah. Tak ada antrian panjang di counter-counter makanan. Makanan dan ragamnya begitu berlimpah dan tampaknya masyarakat India dari kalangan ini tidak terfokus pada makanan saat berpesta.
Sendirian aku memasuki Ballroom sebuah hotel mewah. Seusai mengisi buku tamu, aku langsung masuk ke dalam area pesta. Dalam pesta pernikahan India, undangan tidak harus memberikan amplop kepada mempelai, seperti tradisi dalam resepsi pernikahan di Indonesia. Bahkan buku tamu pun tidak selalu ada. Jadi kehadiran kitalah yang paling penting.  Aku memandang ke depan ke tempat upacara pernikahan sedang berlangsung. Aku berjalan perlahan, beberapa pasang mata di kiri kananku menatapku tajam. Di tempat seperti ini aku selalu menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena cantik, namun karena aku memang berbeda dengan mereka.  Meski aku sama-sama mengenakan pakaian tradisional saree, namun aku bukan keturunan India. Yang belum mengenalku biasanya heran melihat keluwesanku dalam mengenakan saree sehingga aku selalu menjadi pusat perhatian di situasi seperti itu. Dan itu selalu saja terjadi, dan anehnya aku selalu menikmati.
Aku bertemu dengan kenalan-kenalanku setelah terlebih dulu memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua pasang orang tua mereka yang salah satunya merupakan bosku.
Aku sedang memilih-milih aneka salad saat pria di sebelahku menyapaku “Hai, kita jumpa lagi kan. Perasaanku bilang aku pasti bisa bertemu lagi denganmu suatu hari, dan aku benar. Senang berjumpa lagi” sapanya sambil mengulurkan tangannya.”Apa kabar dewi penyelamatku?” tanyanya sambil tertawa. Tawanya benar-benar meluluhkan hati. “Baik jawabku, sukses presentasinya?” tanyaku sambil tersenyum. “Ya, berkat kamu dewi penyelamatku” jawabnya.
“Kau benar-benar seperti dewi yang baru saja turun dari khayangan, saat kau berjalan sendiri memasuki ruang ini, semua mata seolah tersihir ke arahmu. Sarimu melambai, rambutmu tertiup lembut, aku belum pernah melihat wanita seanggun  ini . Sari biru putihmu benar-benar membungkusmu dengan sempurna.” , Kau benar-benar mengalahkan keanggunan wanita India.” Puji pria itu seolah tanpa akhir. Meski orang lain juga memujiku, namun pujian dari Abe benar-benar membuatku tersipu.
“Hei, mana partnermu?” Aku bertanya karena melihat Abe sendirian saat menyapaku. “Ah, seperti kamu aku juga sendirian.”
Akhirnya kami bergabung, aku tak mengira Abe banyak mengenal para undangan lainnya sebanyak aku mengenal mereka. Beberapa undangan yang baru tiba mengira aku pasangan Abe.  Menurut mereka kami terlihat kompak dan romantis dan itu benar-benar membingungkan kami.
Ini adalah pertemuan keduaku dengan Abe, namun aku sudah merasa nyaman berada di sampingnya sepanjang pesta itu. Kenyamananku itulah yang mungkin terlihat oleh orang lain sehingga kesannya jadi romantis. Abe menjelaskan kepadaku sekilas bahwa saat ini ia sedang tak menjalin hubungan dengan siapapun. Istrinya telah meninggal dua tahun yang lalu karena tumor di otaknya dan sejak itu ia belum lagi ingin menjalin hubungan asmara apalagi sampai harus terikat. Kini ia membesarkan seorang putri berusia enam tahun.
Pesta berlangsung hingga pukul 2 pagi, tepat tengah malam tadi Abe memintaku untuk memberi tahu sopir kantorku untuk pulang karena Abe akan mengantarku pulang. Jadi ketika pesta usai aku menunggu Abe di lobby. Aku melambai pada beberapa kenalanku yang kebetulan lewat. Beberapa dari mereka menawarkan tumpangan yang dengan halus kutolak.
Abe tiba di lobby sepuluh menit kemudian. Tubuh tegapnya keluar kemudian memutari kendaraannya dan membukakan pintu penumpang untukku. Abe membantuku menaiki kendaraannya karena ternyata sulit menaiki kendaraan itu dengan mengenakan sari.
Abe mengendarai kendaraannya pelan. Sepanjang perjalanan ia begitu tenang padahal jalan begitu sepi. Aku menghargainya untuk itu. Aku tak pernah suka dengan pria yang mengendarai kendaraannya dengan srudak- sruduk, berzigzag ataupun menyalip-nyalip hingga membahayakan orang lain. Abe tidak seperti itu tampaknya. Abe mengendarai kendaraannya dengan mantap dan stabil.
“Apakah kau selalu hadir di resepsi seperti ini?” Tanya Abe. “Ya, aku menemukan sensasi di acara-acara seperti ini” jawabku. “Hai, sensasi, apa maksudmu Dewi?”sahut Abe. Abe berkeras memanggilku Dewi, meski aku telah memberitahu namaku. Menurutnya aku benar-benar seorang Dewi di matanya. “Acara-acara ini selalu unik. Aku harus mempersiapkannya dan perlu waktu lama. Aku harus tampil sama cantiknya dengan mereka. Aku bebas menggali kecantikanku tanpa harus kelihatan berlebihan. Coba kamu bayangkan jika aku mengenakan gaya ini di pesta-pesta Indonesia, pasti aneh dan terkesan berlebihan kan? Ada sensasi yang nikmat saat semua orang memandangmu dan terkagum-kagum.” Paparku. “Wow, kau suka jadi pusat perhatian haa?” sahut Abe diiringi tawanya. “Apa salahnya?”Jawabku sambil tertawa juga. Kami saling berbicara selama sisa perjalanan menuju kediamanku.
Hari menjelang pukul tiga pagi, sebentar lagi fajar menyingsing. Anehnya aku belum merasa mengantuk padahal biasanya sehabis pesta aku langsung tertidur sehingga sopir kantorku akan membangunkanku sesampainya aku di rumah. Namun kali ini Abe tak perlu membangunkanku. Aku masih terjaga saat Abe membukakan pintu mobilnya. Kali ini Abe membantuku turun dari mobilnya. Abe menggenggam tanganku kemudian mengangkatnya dan menciumnya. Jantungku berdebar seolah aku adalah gadis belasan tahun yang baru pertama kali bertemu pria pujaaannya. Abe kembali memasuki mobilnya, “Sampai jumpa!” ucapnya.
Sambil membuka pintu rumahku anganku melayang. Suara Abe saat mengucapkan salam perpisahan masih terekam jelas dalam otakku. Sampai jumpa, itulah ucapan Abe di dua kali perpisahan kami. Dengan kata itu seolah Abe ingin menegaskan bahwa ia berharap akan ada lagi pertemuan.
Kumasuki kamarku. Kulepaskan seluruh pakaian dan perhiasan dan meletakkannya di lemari khusus. Karena aku sering diundang di acara-acara masyarakat India, maka aku mempunyai banyak koleksi pakaian tradisional India seperti saree lengkap dengan pernak-pernik perhiasannya. Aku membelinya saat aku mendampingi bosku melakukan perjalanan dinas ke India.
Setelah berganti pakaian aku keluar kamar memeriksa keadaan anak-anakku di kamarnya masing-masing. Memperbaiki posisi selimut yang tak menutupi tubuh, mengangkat bantal yang terjatuh dari tempat tidur, dan mematikan televisi yang masih menyala dan mencium kening mereka satu per satu.
Kupandangi bungsuku, begitu lembut. Saat memandanginya, adakalanya aku merasa berdosa telah memisahkan anakku yang ini dengan papanya. Kupikir ia masih terlalu kecil untuk dapat memahami kondisi ini. Hingga saat ini ia tak mempunyai figur seorang ayah. Sejak berpisah, papanya tak pernah mengunjunginya lagi. Aku sendiri tak pernah mengira akan seperti ini. Semula kukira Hubungan ayah anak tak akan pernah terputus, namun ternyata setelah pengadilan mengesahkan perceraian kami, hubungan itu benar-benar terputus. Mantan suamiku seperti menghilang dari tanggung jawabnya. Aku hanya mendengar sekilas bahwa ia telah membangun keluarga baru.
Aku berjalan keluar dari kamar si bungsu sambil berjanji bahwa aku tak akan pernah mengecewakan anak-anakku terutama si bungsu. Segala keperluannya akan kupenuhi. Aku akan mencurahkan seluruh perhatianku untuk mereka. Aku akan mencoba menutupi ketidaklengkapan ini.
Kurebahkan tubuhku di tempat tidurku. Aku masih punya waktu satu setengah jam untuk tertidur. Sebentar lagi subuh aku harus kembali bersiap-siap untuk pergi bekerja. Kupikir-pikir inilah kelemahan acara-acara masyarakat India. Mereka selalu menyelenggarakan pesta pada hari baik mereka yang jarang sekali jatuh pada malam libur. Padahal acara tersebut berlangsung sampai pagi. Buat masyarakat India umumnya itu tak jadi soal karena jam kerja mereka dimulai pada waktu menjelang siang, namun bagi orang seperti aku itu lumayan mengusik pola hidupku karena keesokan paginya aku masih harus bekerja seperti biasa.
Jadi, pagi ini dengan mata yang masih sedikit mengantuk aku tiba di kantorku. Agak lega sedikit karena pimpinanku hari ini masih cuti setelah melaksanakan hajatnya semalam. Duduk di kursiku, menyalakan computer. Membuka agenda, menjadwal seluruh pertemuan untuk esok dan mengkonfirmasi seluruh jadwal ke perusahaan rekanan.
Seluruh pekerjaanku selesai tepat menjelang jam makan siang. Aku baru saja meluruskan pinggangku ketika aiphone di mejaku berdering. Kulihat kode yang tertera di layar monitor, front office. Kutekan tombolnya, terdengar sebuah suara”Bu, ada tamu yang menjemput Ibu.” Katanya.”Menjemput saya, saya tak punya janji Sofie.” Jawabku. Samar aku mendengar Sofie bicara dengan tamu tersebut. “Maaf Ibu tapi tamu ini berkeras bilang sudah ada janji untuk makan siang dengan Ibu, namanya Pak Abe”jelasnya.
Aku terperangah tak mengira dapat bertemu lagi dengan Abe secepat ini. Bayangan pria inilah yang menemaniku hingga aku jatuh tertidur pagi tadi. “Oke, baik minta beliau tunggu sebentar. Saya akan segera turun” kataku. Setelah sedikit merapikan diri di toilet, aku pun turun. Aku benar-benar tak mengira Abe akan datang ke kantorku. Dengan dada berdebar aku menjumpai Abe.
Abe menghampiriku “Belum makan kan?”tanyanya sambil tangannya meraih tanganku. Ia membimbingku menuju mobilnya. Abe mengenakan kemeja putih bergaris biru samar dengan dasi biru bermotif putih. Celananya biru gelap dengan sepatu hitam mengkilat. Ia tampak begitu memikat sebagai seorang eksekutif muda.
“Aku atau kau yang pilih tempatnya?” tanyanya. “Kau saja yang pilih, aku masih shock dengan pertemuan ini.” Jawabku sambil tersenyum. Abe membawaku menuju Hotel Borobudur. Di sana kami menuju Ramayana Restaurant.  Aku tak tahu mengapa Abe memilih restaurant ini. Seolah Abe tahu tempat ini adalah tempat favoritku. Biasanya aku kemari bersama teman-teman wanitaku dan menu favorit kami adalah sop buntut. Kami disambut pelayan yang mengenakan batik dan ditempatkan di sudut ruang.
“ini adalah tempat favoritku.” Jelasku pada Abe “Kita bisa memperhatikan orang yang keluar masuk resto ini tanpa ia tahu bahwa kita memperhatikannya. Dan kau tahu, kami selalu membuat jokes atas penampilan mereka. Dari masyarakat umum, pengusaha, bintang film semua kami komentar rasanya menyenangkan sekali. Sangat menghibur” Jawabku sambil tertawa.
“Bagaimana bisa kita mempunyai tempat favorit yang sama ya?”komentar Abe tak percaya. Pramusaji memberikan buku menu dan bertanya apakah kami akan memesan menu saat ini. Aku memesan Sop Buntut goreng, sedangkan Abe memesan Tomyam Udang dan Satu teapot Teh panas untuk kami berdua.
Setelah pesanan kami datang, kami segera menyantapnya. Kami menghabiskan santapan kami dalam waktu 20 menit. Aku menutup makan siangku dengan menikmati seiris cake coklat dan secangkir kopi sedangkan Abe hanya minum secangkir capucino. Setelah menyelesaikan pembayaran kami beranjak pergi. Abe mengantarku kembali ke kantor.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 ketika aku tiba kembali di ruang kantorku. Setumpuk surat yang baru tiba ada di atas mejaku. Aku menyortir surat-surat tersebut berdasarkan peruntukan dan kepentingannya. Aku duduk dan mulai mengamati surat-surat tersebut. Memisahkan antara surat pribadi bos dengan surat-surat perusahaan. Kemudian aku akan mulai membalas surat-surat yang perlu dibalas.
Pukul lima pun tiba. Aku segera menghentikan pekerjaanku. Abe meneleponku, menanyakan apakah aku sudah selesai dengan pekerjaanku.  Aku bergegas turun.  Abe telah menunggu di lobby, ia segera membukakan pintu mobil dan membantu menutupnya.
Abe membawaku ke arah pantai, matahari begitu indah.  Pelan-pelan tenggelam meninggalkan siluet di rupa kami.  ”Maukah kau menikah denganku?” tanya Abe
Aku terdiam.  Dalam diamku  tiba-tiba saja melintas sebuah pernikahan yang berakhir kacau balau.  Pernikahan yang berisi air mata karena dikhianati.  Pernikahan yang selama ini telah menghancurkan seluruh cita-citaku.
Abe menatapku tajam”kita layak mencoba, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti jika kita tak mencoba.” papar Abe
Aku masih terdiam, terbayang wajah anak-anakku yang kucintai.  Wajah-wajah itu menyemangati aku.  Kupandangi wajah Abe, kesungguhan Abe.  Yang inni nampaknya benar-benar berbeda.
“Ya, aku mau.” jawabku
Kuterima lamaran Abe setelah berkenalan hanya selama dua hari. Aku benar-benar tak peduli karena sebelumnya aku pun gagal meski telah mengenal mantanku selama enam tahun. Yang paling menyakitkan telah bisa aku lalui.  Jadi, siapa takut…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar